Konon, model ini diterapkan oleh sang legenda, Chairil. Hingga hasilnya adalah puisi yang ekspresif, dahsyat. Walau tak sampai ratusan, puisinya menyengat sejarah kita tentang bahasa/puisi.
Tentu, walau dengan gaya bebas, tetap butuh referensi dan pijakan konseptual. Itu bisa didapat dari buku buku dan diracik dengan pengalaman.
Begitupun pada karya Tardji, Emha, atau Eyang Sapardi. Juga Malna. Mereka dengan gaya bebasnya sendiri untuk merekam suatu makna dan peristiwa. Meracik setiap kata dan menyalakan maknanya.
Pada dekade belakangan ini, puisi sudah menjadi bagian dari seni kata. Bahkan Malna menjadikannya "seni rupa" pada kata dengan jelajah benda benda modernisme dan kebudayaan populer..
Gaya bebas, diperlukan untuk mencapai autentitas tertentu, suatu pikiran murni dan menjaganya sebagai ilham untuk suatu kepentingan publik, normatif, atau sekadar ekspresi kedirian yang wajar, atau justeru melawan arus. Waktu jua yang memberi jawab.
Mungkin, untuk teknik merangkai gaya bebas itu, akan kita ulas di lain waktu. Walau beberapa catatan sejenis sudah pernah penulis publis.
Salam puitis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H