Aku meihat jendela yang warnanya tua, papannya yang meredam peristiwa dan tirainya yang menyimpan baris baris kenangan.
Waktu seperti terhenti. Mataku kembali ke belakang. Ke masa kanak kanak. Berlarian. Bermain sepeda. Berjalan bersama ke masjid yang jauh letaknya. Beberapa kali kami ke laut. Bermalam di kapal. Memancing. Bahkan sesekali berlayar ke pulau menyertai tugas Ayah.
Di rumah Ayah, sepi seperti menjalar. Merayap pelan pelan. Emak membentangkan doa dengan sabar. Menanak nasi. Mengaji. Membereskan dapur, juga merasakan ngilu di tulang sendi.
Di sini semua kemewahan tak bisa diucapkan. Semua pengharapan telah dipikul masing masing. Rasa sykur adalah segalanya.
Kehidupan mungkin bisa mengambil semuanya, tapi tidak bisa mencuri kenangan yang melekat di jiwa.
Tetiba daun pintu berderit. Jendela bergerak gerak. Angin yang rindu selalu menjenguk.
Ingin segera dan selalu kuketuk rumah Ayah, duduk bersimpuh di dekat ibu dan mengenang waktu waktu sudah sambil bicara tentang cucu cucunya yang beranjak dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H