Abad yang tidur
Oo. Kau pikir ini apa.seluruh entitas telah jadi mesin. Sejak kita mengenal mesin uap, kata orang.
Sejak itu pikiran kita dipenuhi asap. Jadi asap asap yang mengisap pengertian tentang batas modernitas, skala ekonomi dan SDM.
Dan kemudian kita mengenal menara. Kau pikir apa. Menara yang bisa melihat isi kepala sambil mengukur berapa jarak sepi ke ujung jari.
Oo.itu lompatan abad menuju waktu yang menyempit dan ruang yang mengecil dalam versi hibriditas, konektivitas, tanpa sekat, virtual versi apa?
Lalu lihat diri kita. Anak anak kita yang mimpinya berbunga di playstore. Mereka.juga kita.berlarian di jagad maya, melintasi barisan sinar elektron dan mengeja algoritma (arabnya al khawarizmi) yang rumit di antara mesin pencari serta berkiblat ke influencer. Tema tema konten, aplikasi aplikasi baru. Dan lihat.semua bagian kita telah tercecer.
Kita pikir. Yang kau pikir,
Kita dipaksa waktu untuk berlari. atau kita jadi bagian mekanisasi perubahan yang suram, hingga sulit mencerna arti menikmati. Menikmati waktu seadanya.
Abad kita berlari kata Malna. Aku membaca abad yang tidur. gejala gejala yang membuat kita menstimulasi kesemuan baru tanpa mengenal muasal dan akhir pencapaian.
Saat bumi sesak oleh asap. Dan kepala kepala manusia 5.0 lelah, Orang masih berpikir membangun koloni di bulan, apakah mereka bisa melihat Tuhan tersenyum di sana?
Ayo bangun. Abad kita sedang tidur. kita perlu berdiam sejenak di atas tanah. Menggenggam kesadaran kita sesadar sadarnya.sebelum semua tercecer dan sia sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H