Suatu Siang yang Panas di Kota Aceh
*****
Aku memasuki kota Aceh, pada suatu siang, selepas pagi yang basah. aku datang dengan keinginan yang besar, lalu menjadi cerita yang panjang.
Cerita heroik, sejarah dan hati yang patah, telah aku dengar, Ooh, Aceh yang tersisih, dari kemilau Indonesia, dan cerita cerita akan terus bergemuruh, lakon baru dan episod episod telah direkam, ataukah sejarah akan ditulis ulang?
Dan yang hitam pada peta jalan telah jadi bayang. bendera merah telah diturunkan. tanah juang telah berubah. peperangan konvensional hampir sulit dikuasai. Disebutkan, dan aku dengar, gagasan gagasan selalu layak diperjuangkan tanpa harus bergerilya dan keluar-masuk hutan.
Pada siang itu, yang panas dan merah, aku merekam suara suara parau, rasa perih dan ketakutan yang sulit dijawab.
aku melihat orang yang baru tertembak di tepi ladang. Aku mendengar deru mobil mobil perang.
Anak anak bedil tidak hanya menembus dinding dinding rumah, tapi mengelupas kulit kepala, membakar paha, dan aku masih mendengar suara dentum senjata yang beradu bahkan hingga malam.
Sepanjang jalan kota dan perkampungan menggambarkan sunyi yang dalam, orang orang menyimpan takut di jantungnya,
Ooh, siang yang panas, kemarau yang tebal, jalan siasah yang begitu terjal untuk mencapai hak hak sipil guna memaknai kemakmuran yang dipahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H