Tradisi Makan Sirih dan Falsafah Hidup Orang Aceh
Ketika seorang penjual ranub (sirih) atau penghias ranup sedang merangkai bentuknya menjadi beragam varian, yang terbetik di benak penulis adalah kesetiaan dan keuletannya pada kegiatan tersebut.
Meskipun kegiatan membentuk daun sirih tadi sudah menjadi hal yang biasa dan berlangsung automatis, tetap membutuhkan kesabaran: dari mencari dan memilih daun sirih yang bagus, mengolah pinangnya serta mesti duduk berjam jam merangkainya menjadi pas untuk dikonsumsi dengan ragam rasa dan bentuk.
Adapun yang paling membutuhkan ketelitian dan inovasi adalah rangkaian ranup yang dimaksudkan sebagai antaran/kelengkapan adat pernikahan, misalnya berbentuk angsa atau kopiah khas Linto Aceh.
Tentang kesetiaan yang penulis singgung di atas, seorang penjual ranup, merelakan dirinya untuk bisa bertahan di tengah derasnya laju modernitas dan gaya hidup instan. Memang sudah jarang kita jumpai generasi milenial yang memesan ranup untuk konsumsi dalam jamuan kelompok saat kongkow di cafe/warung.
Dalam hal ini kiranya sudah diperlukan suatu mekanisme promosi tertentu dalam kehidupan remaja untuk terlibat perihal melestarikan budaya ranup, baik untuk konsumsi, seremoni adat dan bahkan potensi ekonomi dengan bertani sirih, misalnya.
Sebab, sebagai unsur adat, sangat urgen untuk dilestarikan, apalagi ia dapat menopang ekonomi keluarga. Biasa ranup konsumsi dijual seharga Rp 500 per buah. Sedangkan untuk antaran dan acara adat, tergantung jumlah serta kerumitan bentuknya saat dirangkai.
Dari segi konsumsi, budaya pajoe ranup (makan sirih) merupakan bagian interaksi sosial yang dapat mencairkan suasana, membangun keakraban.
Saat mengunyahnya, itu semacam olahraga wajah yang paling simpel. Disamping manfaat lainnya untuk menghilangkan bakteri di mulut atau di perut.
Dan rasanya yang pedar, pahit, terkadang (bisa jadimanis, tanpa tambahan gula dan kacang) serta warnanya yang merah, seakan mengisyaratkan tentang kehati-hatian dalam mengeluarkan ucapan.
*Peminat Kajian Sosial Budaya