Telaah Ringan: Tiga Daya dalam Puisi
Pada era digital sekarang agak tampak bahwa perpuisan secara literal mulai semarak. Banyak media dan Blog yang menampung karya puisi. Bahkan dengan bonus lumayan. Itu sangan mengembirakan memang.
Walau kita belum merasa adanya tokoh sekaliber HB Jasin dalam mengkaji sastra secara umum dan praktis, kalau secara akademisi mungkin banyak. Demikian halnya dengan telaah puisi.
Maka, dari titik ini juga menjadi alasan tertentu bagi kelesuan penerbit dalam menyajikan karya puisi. Terutama karya pendatang baru. sehingga buku buku puisi dianggap tidak komersil, dan berbeda dengan karya penyair yang sudah bernama, terkenal (walau rawan pembajakan juga).
Sebagai insan yang bergerak dalam karya puisi, atau prosa secara umum, dalam kasus kecil di atas, kita bisa menilik dari kualitas dan intensitas karya itu ditampilkan dan dihadapkan pada khalayak. Entah secara massif lewat sebaran ragam media digital, atau lomba lomba terstandar.
Kualitas, tentu bergantung pada pengalaman dan prinsip belajar si penyairnya. Sedangkan intensitas, secara umum tergantung pada sistem sosial yang mendukung dan representatif terhadap karya puisi.
Pada ruang yang kecil ini, kita ingin mengurai sedikit tentang upaya yang dapat membangun kekuatan pada karya puisi yang diciptakan. Efektivitas daya itu akan diuji oleh waktu, itu yang paling adil. Selebihnya tergantung kegigihan, celah dan nasib.
Secara umum, referensi ini kita rujuk pada karya Apresiasi Puisi oleh Herman J Waluyo, 1995. Disini, penulis mengadaptasinya dengan bebas, tanpa mengurangi hakikat puisi secara batin ataupun fisiknya.
Menurut yang penulis amati dan praktikkan, ada tiga daya yang membantu mengembangkan wujud puisi: Entah itu dari peristiwa ke makna, atau dari kata kata (kekuatan bahasa) yang dikonsentrasikan untuk menjadi peristiwa dan makna tertentu. Dari kedua jalan itu puisi terwujud.