Teknik Apresiasi terhadap Puisi: Bukan Kopi Yang Pahit
Puisi dan karya sastra tulis sejenisnya memiliki ruang penghayatan publik tersendiri. Masyarakat mengapresiasi puisi dengan cara yang berbeda.
Umumnya puisi dianggap sebagai wilayah yang sangat abstrak, inilah kesan yang lazim terhadap puisi, seperti kopi yang pahit. Padahal tidak seperti itu. Puisi dapat dinikmati dengan simpel, sederhana.
Kebanyakan penyair membebaskan pembacanya saat puisi itu dinikmati. Para pelajar dan mahasiswa serta komunitas berbasis sastra memiliki forum yang lebih luas dalam meresapi makna dalam puisi.
Sudah sering kita melihat, ada potongan kalimat puisi yang digunakan sebagai pemanis undangan nikah. Ada musikalisasi, festival, dan ada puisi yang menjadi lirik lagu bahkan novel, lalu diadaptasi ke layar kaca.
Demikianlah puisi berubah wujud dari sekadar kata-kata "ghaib" menjadi lembaran realitas baru, walau pada mulanya puisi disepakati sebagai karya fiksi. Itu semua bagian dari mengapresiasi puisi.
Teknik Apresiasi?:
Sepertinya tidak diperlukan buku ala "How to"
untuk menikmati puisi.
Mungkin yang paling mengemuka saat seseorang dihadapkan pada puisi adalah cita rasa pengalaman si pembaca sendiri dan faktor genikal atau keberbakatan (misal, si pembaca memang bukan tipikal linguistik atau cerdas kata) sehingga bait-bait puisi menjadi kebuntuan makna, tak dapat ia hubungkan kaitan rima antarkata atau sentuhan warna estetis dari rangkaian kalimat puitis dari penyairnya.Hal hal itu tidak pula merangsang minatnya.
Pengalaman itu selazimnya muncul dari interaksi di rumah dan sekolah. Melalui dua tempat istimewa inilah pengalaman seseorang terhadap puisi dan karya sastra lainnya atau sikap literal (budaya baca) terbangun dan kemudian terpatri sebagai kebiasaan. Bila keduanya tidak memberikan ruang yang sewajarnya maka dibutuhkan faktor lain agar ia tersentuh oleh puisi.
Kapan tersentuh oleh puisi?: