Ini perumpamaan saya saja. Teori itu saya ibaratkan seperti tulang punggung dan tulang kerangka lainnya. Sedangkan praktek itu seperti perangkat tubuh lainnya seperti otot, otak, syaraf, kulit, panca indera dan seterusnya. Kerangka atau teori sangat dibutuhkan sebagai landasan kekuatan. Tanpa kerangka yang kuat, sekuat apapun tubuh, tidak akan ada staminanya. Tubuh sangat rapuh dan akan mudah patah. Sebaliknya kerangka saja tanpa perangkat lainnya hanya akan diam saja tidak bisa bergerak. Demikian juga tanpa kemampuan mempraktekkannya, maka teori tinggallah teori saja. Dalam hal perbandingan kuantitasnya, jumlah variasi kerangka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan perangkat tubuh lain. Demikian juga dengan teori yang bisa distandarisasi dan dipelajari dengan relatif lebih mudah. Tapi praktek, sangatlah bervariasi dari satu orang ke orang lain, seperti juga bentuk tubuh dan bentuk wajah manusia yang sangat banyak dan unique. Inilah sebabnya biarpun seseorang mendapatkan teori yang sama, tapi dalam prakteknya bisa jadi sangat berbeda. Yang pasti, agar tubuh sehat maka baik kerangkanya maupun perangkat tubuh lainnyapun harus kuat dan sehat.
Jika dikaitkan dengan kondisi negara kita ini, maka jelas banyak sekali orang-orang yang pandai berteori di negeri ini. Ini jelas bisa dilihat di acara-acara debat yang bertebaran di televisi. Ataupun artikel-artikel di media massa, bahkan ceramah-ceramah keagamaanpun penuh dengan teori-teori yang bagus-bagus. Tapi bagaimanakah dengan prakteknya? Jika ada begitu banyak orang pandai di negeri ini maka bisa diharapkan bahwa negara ini bisa segera menjadi negara yang maju. Atau minimal bebas korupsi. Tapi kenyataannya adalah bahwa biarpun banyak yang berteori tentang memajukan negara ini, kemajuan negara ini terhitung sangat lambat, bahkan cenderung ketinggalan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Biarpun banyak bermunculan teori anti korupsi, tetap saja korupsi menjadi ciri khas negeri ini. Antara teori dan praktek, antara harapan dan kenyataan, terdapat gap yang sangat besar.
Contoh lain yang legendaris adalah kemampuan bangsa ini untuk membuat proyek-proyek baru, tapi sama sekali tidak punya kemampuan untuk memelihara kelangsungan proyek itu. Sehingga semua akhirnya kembali ke awal lagi, ke awal lagi. Proyek baru lagi, proyek baru lagi. Tidak pengembangan yang berkesinambungan. Akhirnya bangsa ini hanya jalan di tempat saja. Semua atas nama uang baru, dan bagi-bagi rejeki baru. Itu di level atas. Di level bawahpun tak kalah mirisnya. Rakyat kecilpun lebih fokus ke bikin anak baru. Sama sekali tidak mempedulikan bagaimana cara memelihara anak ini kelak. Maka anak-anak miskinpun banyak bermunculan. Bukan hanya miskin finansial, tapi juga miskin moral.
Kembali ke masalah banyaknya orang pintar di negeri ini. Maka beginilah analisa sederhananya kira-kira:
- Hampir semua ahli teori tidak pandai dalam hal prakteknya, atau
- Hampir semua ahli praktek kurang kuat landasan teorinya, atau
- Sebenarnya ahli teori juga ahli praktek, akan tetapi antara teori dan prakteknya sama sekali nggak nyambung atau tidak mampu menyambungkannya, atau
- kemungkinan lainnya????
Yang jelas antara teori dan praktek ada missing link-nya atau ada faktor x-nya, sehingga teori tidak bisa dipraktekkan, atau lain di teori lain pula di prakteknya. Jadi yang kita perlukan saat ini bukanlah orang-orang yang pandai berteori saja, tetapi orang-orang yang bisa mempraktekkan teori tersebut menjadi kenyataan. Contoh: para ahli hukum selalu bersikeras bahwa teori hukum di negeri ini sudah ideal, sudah bagus, tapi kenyataannya kita tahu seperti apakah penerapan hukum di negeri ini. Atau para ahli pemerintahan yakin bahwa sistem pemerintahan kita sudah bagus, tapi kenyataan siapapun yang masuk ke sistem pemerintahan tersebut pasti akan menjadi berubah biarpun dulunya dia orang baik-baik. Belum lagi mengenai janji-janji. Dari dulu janji-janji hanyalah tinggal janji, karena kebanyakan janji-janji tersebut terlalu muluk-muluk, tidak realistis, hanya sekedar mencari simpati dan pencitraan saja. Mungkin kalau perlu dibuatkan saja sayembara di negeri ini dengan hadiah besar ratusan juta rupiah atau milyaran rupiah untuk mencari apakah sebenarnya missing link itu atau apakah faktor x itu, sehingga susah sekali mempraktekkan teori di negeri ini agar bisa menjadi kenyataan. Agar teori tidak hanya berhenti di teori, tetapi benar-benar bisa menjadi kenyataan.
Banyak orang pandai di negeri ini, tapi jelas kelihatannya kepandaian itu tidak dimanfaatkan secara tepat pada tempatnya. Harus ada perubahan sistem yang mendasar di negeri ini. Misalnya, selama ini susah untuk mengukur kinerja dari aparat pemerintahan di lapangan. Jika ada aparat yang kinerjanya rendah dalam melayani masyarakat, maka sulit untuk diberikan sanksi. Ini karena yang bisa memberikan sanksi adalah atasannya langsung. Biasanya akan ada simbiosis mutualisme antara atasan-bawahan yang ujung-ujungnya merugikan masyarakat. Maka harus dibuatkan sistem agar masyarakat bisa langsung memberikan sanksi kepada aparat yang tidak baik kinerjanya. Misalnya jika ada korban karena jalan berlubang, atau karena drainase yang tidak tertutup, maka masyarakat bisa langsung menuntut dinas yang terkait. Bahkan kalau bisa sampai ke menuntut petugas polisi yang ketahuan sedang merokok pada saat melaksanakan tugasnya di lapangan. Demikianlah kira-kira salah satu bentuk dari perubahan sistem yang mendasar tersebut. Agar bisa mengikis habis faktor x yang menghalangi harapan dengan kenyataan. Agar teori dan praktek bisa menjadi satu kesatuan berkesinambungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H