Ditengah problem yang muncul dipermukaan berkaitan dengan nasab atau apapun itu. Mungkin kita sering kali berfikir bahwa perbuatan yang kita lakukan berbasis akhirat (kehidupan yang kekal abadi), namun seakan-akan orientasinya adalah dunia atau bahkan memang tujuannya adalah dunia bukan tujuan akhirat atau lillahi ta'ala.
Penulis membuat istilah; "Covernya akhirat, namun isinya dunia", begitu sebaliknya "covernya dunia ternyata isinya akhirat". memang tidak ada yang mengetahui apa sebenarnya yang ada dalam pikiran, keinginan, tujuan, dan niat seseorang dalam melakukan perbuatan tertentu.
Salah satu pelajaran yang bisa diambil hikmah sebagai manusia adalah "kita tidak perlu merasa paling benar, paling berAgama, paling sholeh/hah, paling pintar, dan lain sebagai". Kenapa demikian, karena apapun yang dilakukan oleh manusia yang mengetahui hanya dirinya dan Tuhan. Bisa jadi apa yang kita lihat salah atau bahkan tidak benar sama sekali.
Ada satu istilah yang sering di gunakan di era post truth yakni: "Sesuatu yang kita anggap benar, ternyata tidak benar sama sekali". Pandangan manusia bisa benar bisa salah, dalam konteks sebuah perbuatan pun demikian, Siapa yang mengetahui bahwa yang dilakukan oleh seseorang yang kelihatannya basisnya adalah akhirat ternyata tujuan, keinginan, niatnya untuk memperkaya kehidupan dunianya. bukan tujuan akhirat yang sebenarnya. begitupun sebaliknya orang yang kelihatannya mengejar kehidupan dunia ternyata niatnya untuk akhirat. semua tergantung pada niatnya seseorang dalam melakukan sesuatu.
Misalnya dalam sebuah ceramah Gus Baha menyampaikan kisah tentang sikap Rasulullah dan para sahabat terhadap seseorang yang tidak ikut duduk dalam majelis ilmu. dimana pada waktu itu, ada seorang pemuda melewati majelis tanpa bergabung, seorang sahabat mengomentari sikapnya dengan negatif.
Kemudian, Rasulullah merespon dengan sangat bijak. Beliau mengatakan bahwa pemuda tersebut mungkin sedang bekerja untuk tidak menggantungkan diri pada orang lain, atau mungkin ia bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarganya, kemudian yang keduanya merupakan bagian dari sunnah yang dianjurkan.
Mendengar sahabat mengomentari si pemuda, Rasulullah mengatakan : "Janganlah begitu. Dia itu bisa saja bekerja untuk tidak meminta-minta kepada orang. Dan itu sunnah ku. Atau dia bekerja untuk keluarganya untuk ibunya dan itu juga sunnah ku. Dan Allah mencintai orang yang bekerja." sebgaimana dijelaskan oleh Gus Baha.
Sejak saat itu, para sahabat pun tidak lagi mengomentari orang yang tidak bergabung dalam majelis ilmu karena mereka memahami pentingnya sunnah bekerja dalam agama Islam.
Artinya bahwa kegiatan bekerja adalah kewajiban memberikan nafkah untuk anak keluarganya basisnya adalah dunia, namun memiliki pahala bernilai akhirat. Sedangkan duduk dimajlis ilmu juga penting kita tidak bisa menjudge sesuatu dari cover saja.
begitu juga misalnya; orang yang bekerja atau berdagang pada waktu bulan ramadhan dan tidak ikut shalat tarawih/ tadarus Al Qur'an. lebih baik yang mana? tentu semuanya baik tidak ada yang buruk.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: "Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi)" (HR. Muslim, No. 995)