Lihat ke Halaman Asli

Salju Pertama

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari ini suhu udara di daratan Eropa kian merosot. William Goodenough House, asrama mahasiswa tempat kami tinggal, mulai dikelilingi oleh gelombang-gelombang hembusan udara dingin. Setiap celah bangunan asrama seolah seperti rongga-rongga AC nomor satu dunia yang dapat mendinginkan seluruh ruangan gedung-gedung besar bertingkat secara merata. Setiap kali daun pintu keluar asrama terbuka, hembusan udara dingin pun segera saling berebut masuk dan perlahan mengusir udara hangat yang meresap keluar dari mesin-mesin listrik yang sedang digunakan para penghuni asrama. Panas tubuh setiap orang yang keluar secara alami juga ikut terbawa pergi terdorong oleh hawa dingin yang berangsur-angsur memenuhi seluruh ruangan.

Asrama yang berlokasi di jantung kota London di sudut Macklenburgh Square milik keluarga kerajaan Inggris ini bisa dikatakan cukup klasik. Berbeda dengan asrama lain yang umumnya cukup modern, di asrama ini, kaca-kaca jendela yang berada di setiap ruangan di dalam masing-masing flat tidak berlapis sehingga tidak berdaya terhadap serangan hembusan angin dingin. Dinding flat pun seolah tidak mampu membendung dinginnya gelombang udara yang membawa butiran-butiran air es yang terus menggumpal. Lantai flat kami tidak dilapisi karpet dan jajaran besi mesin penghangat ruangan pun belum diaktifkan. Alhasil, udara di dalam flat terasa cukup dingin.

Sebagai orang Asia yang belum pernah merasakan musim dingin, kami sangat terkejut ketika pertama kali mengetahui bahwa asrama William Goodenough House tidak memiliki penghangat ruangan yang bisa diatur per kamar sesuai kebutuhan. Penghangat diatur oleh asrama secara terpusat. Celakanya, penghangat baru akan diaktifkan jika sudah benar-benar masuk musim salju. Bagi orang-orang Eropa, udara awal musim dingin ibarat udara tengah malam di Jakarta bagi orang-orang Indonesia. Mereka tidak merasakan dingin yang merenggut tulang tetapi mereka sangat menikmatinya karena bagi mereka udara awal musim dingin hanya terasa sejuk saja. Oleh karena itu, banyak diantara mereka masih mengenakan pakaian terbuka ala musim panas.

Sementara angin musim dingin terus bersenandung di luar sana. Seolah-olah, aku bagai mendengar derapan brigade prajurit kerajaan Inggris yang sedang berkeliling sambil menyanyikan lagu "God Save the Queen". Pintu lemari pakaianku yang tidak tertutup rapat yang berada persis bersebrangan dengan jendela kamar tidurku pun ikut berdendang bagaikan gesekan biola usang. Plastik pembungkus roti yang terletak di tengah-tengah antara jendela dan lemari yang berada persis di sebelah laptopku pun ikut menciptakan alunan musik yang harmonis. Suara kertas terbolak-balik dari lembaran-lembaran berkas penting yang sedang dibaca istriku ikut menjaga ketukan ritme senandung hembusan angin dingin London.

Aku terus bertarung melawan dinginnya udara musim dingin Inggris sembari terus membaca buku sumber terakhir untuk tugas akhir mata kuliah Ancient World History. Aku sedang "membaca" buku "The Gilgamage Epics" dalam format PDF dan coba merampungkan makalah yang sedang ku tulis. Agar tidak menggigil, aku mengenakan setidaknya dua lapis pakaian. Aku mengenakan Long John, setelan pakaian dalam dengan bahan kaos yang biasa dikenakan oleh orang-orang saat musim dingin. Bagian atas Long John adalah kaos ketat berbahan katun yang berwarna abu-abu dan bagian bawahnya adalah celana panjang ketat yang juga berbahan kaos dan berwarna abu-abu. Aku juga melapisi tubuhku dengan kaos tebal berlengan panjang berkerah tinggi, berwarna merah, berbahan tebal dan berseleting dan celana panjang training berwarna biru gelap yang cukup tebal dan nyaman. Tak ketinggalan, aku juga memakai kaos kaki berwarna gelap yang cukup menghangatkan telapak kakiku.

Namun, tetap saja kedua tanganku berkali-kali rapat berlipat memeluk tubuhku. Kedua kaki ku pun juga terlipat rapi bersila duduk di atas kursi berbusa tipis beroda tiga. Sesekali kursiku bersuara seperti orang yang sedang diserang asma, ngik ngik ngik karena badanku menggigil dan menggoncangkan kursiku. Ya, aku memang kebetulan sedang kurang sehat sehingga udara terasa sangat dingin.

Ketika aku baru saja selesai mengrimkan tugas akhirku ke professor Sadria via e-mail, istriku yang sedang mempersiapkan bahan untuk mengajar di Kedutaan Besar Republik Indonesia London teriak gembira dan segera menghambur kea arah jendela. "Wow, Subhanallah! Kayak mimpi a." ungkapnya sembari terpesona akan apa yang sedang dilihatnya. Aku yang sedang sibuk dengan tugas kuliahku mencoba menanggapi sekenanya. "Memang kayak mimpi. Wong baru beberapa bulan lalu kita panas-panasan di Jakarta, sekarang lagi dingin-dinginan di London, di jantung kotanya lagi. Sampai sekarang aja aa masih berasa sedang mimpi," sahutku ringan. "Alhamdulillah ya Allah memberikan kado pernikahan spesial. Visa UK, tiket pesawat, bulan madu, studi S2, flat seharga 880 poundsterling per bulan, uang saku, kesehatan, bahkan freedom pass tiket transportasi se-UK semuanya gratis," tambahku. "Ya, Alhamdulillah wa syukurillah, dan sekarang neng lagi menikmati tanda-tanda kekuasaan Allah yang lain. Butiran-butiran putih halus turun dari langit," jelasnya sambil masih kaget dengan pemandangan dari jendela.

"Mulai turun salju ya neng? Subhanallah". tanyaku tak percaya. "Beberapa kawan yang sudah lama tinggal di sini bilang katanya sudah lama London tidak bersalju," tambahku sambil mengingat informasi yang pernah ku dengar. "Iya. Ada apa ya? Padahal masih di awal winter. Kita beruntung bisa mengalami salju di London," tambah istriku. "Iya, benar-benar beruntung. Lengkap pengalaman kita tinggal di luar negeri," kataku sambil terus mensyukuri apa yang sedang terjadi.

Spontan, aku lupa kalau aku sedang kurang sehat. Aku merasa segar bugar untuk mengalami dan menikmati langsung salju pertama ini. Istriku pun sangat antusias untuk merasakan rintik-rintik butiran salju. Kami pun bergegas ke luar flat. Aku segera mematikan laptop dan menutupnya. Kemudian, aku beranjak dari kursi yang sedang ku duduki dan segera berjalan ke kiri sembari menyusuri meja panjang dengan jari-jari tangan kananku dan tempat tidur dengan jari-jari tangan kiriku lalu melangkah serong ke kiri. Tangan kanan ku menggapai daun pintu yang setengah terbuka dan segera meraba ke arah dinding belakang pintu persis sebelah kanan lemari pakaian. "Nih dia." Aku menggapai sebuah besi kecil panjang berwarna putih dan segera keluar kamar.

Sekitar 2 meter di depanku, di depan pintu kamar anak yang kosong, istriku sedang mengenakan kerudungnya dan jaket tebal pemberian mbak Luluk. "Nih a, jaket tebal panjang yang dari Pak Dwi" kata istriku sembari memberikan jaket tersebut kepadaku. "Pak Dwi dan mbak Luluk baik benar ya. Alhamdulillah, sekarang gak khawatir kedinginan di luar" sahutku sembari mengenakan jaket yang panjang hingga lututku."

Ya, Pak Dwi dan Mbak Luluk, Mas Dono dan Mbak Lusi, Mas Susilo dan Mbak Rani, Pak Doni dan Mbak Ika, Bu Tatiek dan suami, Bu Mimi, Mas April, Fahmi, Fajar, Cecep dan Dina, Hakam, Ika dan semua orang Indonesia yang kami temui di London memang sangat baik dan tulus. Bahkan Iran dan Rashida, Kevin, Mercedes, Meriam dan semua kawan kami yang berasal dari negara lain pun sangat ramah dan baik. Kami sungguh merasa seperti punya keluarga besar baru. Kami benar-benar feel at home.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline