Di dalam dunia pendidikan terdapat anak -- anak yang memiliki perbedaan kemampuan, baik kemampuan dalam kognitif, emosi, sosial dan komunikasi. Kita pasti punya harapan bahwa dengan memasukkan anak ke dalam sekolah formal, ia akan mengalami peningkatan dalam kemampuan kognitif dan menguasai semua pelajaran yang diberikan.
Di dalam dunia pendidikan anak berkebutuhan khusus, kita menyadari bahwa anak memiliki "masalah" dengan dirinya sendiri. Anak dengan spectrum autis berat memiliki masalah sensori, emosi dan sosialisasi. Anak dengan slow learner memiliki masalah dalam menyerap informasi pembelajaran reguler. Apakah anak -- anak dengan kategori ini kita paksakan untuk mampu mengikuti pelajaran sesuai dengan indikator kelas untuk siswa reguler lainnya?
Pendidikan adalah kebermaknaan. Anak perlu memaknai pendidikan yang ia ikuti. Ketika ia memasuki sekolah dasar yang memiliki standar bisa membaca apakah ia perlu kita paksakan harus bisa membaca agar bisa sama seperti teman -- temannya. Jangankan ke tahapan membaca, mengenal huruf pun belum. Identifikasi warna juga belum bisa. Anak dengan IQ dibawah rata -- rata umumnya memiliki masalah seperti ini.
Jika kita memaksakan target kelas harus dicapai oleh siswa dengan slow learner, autis dan siswa dengan IQ dibawah rata -- rata, maka ada 2 kemungkinan.
1. Siswa akan mengalami stres
2. Guru akan mengalami stres
3. Tidak terbentuk bounding dan chemistry antara guru dan siswa karena ketidaksesuaian tujuan yang hendak dicapai.
Daripada memaksakan target kelas, maka kita bisa memastikan anak ini mendapat pelayanan pendidikan dengan intervensi berbeda yaitu melatihnya. Melatih kebiasaan suatu aktivitas secara berulang (mampu latih).
Kita bisa melatih anak dari daily livingnya misalnya mandi, merawat diri dan lainnya atau kegiatan produktif lainnya misalnya membuat air teh, membuat roti dan lainya.
Aktivitas berulang yang dilakukan oleh anak dengan kategori ini akan lebih efektif. Pendidikan kognitif akademik (berhitung, membaca, menulis) tetap diberikan pada anak meskipun kadar dan porsinya tidak banyak.
Anak perlu memaknai apa yang dilakukan. Kita sebagai orangtualah yang terlalu memberi beban