Lihat ke Halaman Asli

Mochammad Taufiqurrochman

Mahasiswa Sastra Arab

Perkembangan Syair Ashr Jahili (Syair Zaman Jahiliyah)

Diperbarui: 4 Mei 2022   05:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Wikipedia

-Mochammad Taufiqurrochman Azmatkhan AlHusainy

 (Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Syair Ashr Jahili, seperti namanya, syair ini berkembang dan menjadi tradisi pada zaman jahili, sekitar 200/150 tahun secara turun-temurun sebelum Islam turun di tanah Arab, jadi semua bentuk syair yang tercatat sebelum Islam disebut syair Jahili. Kenapa cuma dari 200/150 tahun? Kenapa tidak dari zaman Nabi Isa atau Nabi-nabi sebelumnya?

Karena setelah diteliti syair tertua yang sempat tercatat tidak ada yang lebih tua dari 200 tahun sebelum Islam, Beberapa ratus tahun sebelum munculnya Islam, kemungkinan sudah ada syair, tapi tidak sempat tercatat oleh sejarawan Arab. Jauh sebelum diturunkan nya Al-Qur'an, dunia sastra syair bangsa Arab sudah menjadi sebuah peradaban dan warisan kebudayaan tertinggi pada masanya. 

Gubahan syair dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, pengagungan berlebihan pada syair sehingga kedudukan syair jahili dalam kehidupan bangsa Arab memiliki pegangan peranan yang fundamental. Syair laksana sihir yang mampu melahirkan kekuatan sampai-sampai lahirlah semboyan asy-syi'ru diwanul arab (puisi adalah rumah bagi bangsa Arab).

Baca juga: "Wate Ka Saho", Syair Kreatif ala Pemuda Aceh Bangunkan Warga Saat Sahur Tiba

Syair zaman Jahili sangat memiliki kekuatan yang magis dalam psikologis mereka, sering digunakan untuk mengobarkan semangat juang di masa perang, orasi suatu kelompok, tetapi sekaligus dapat menciptakan perdamaian tatkala ada dua pihak yang bertikai. Semua tervisualisasi dalam syair yang mereka utarakan. 

Dalam hal ini penyair tak sekedar menciptakan syair namun lebih pada kesakralan kandungan syairnya. Karena posisi penyair yang demikian itu, maka kabilah-kabilah sangat bangga dan sangat menghormati para penyair yang ada di kabilah nya. Karena mereka menyakini, orang yang lihai dan pandai mencipta syair dan melantunkan nya mempunyai kedudukan tertinggi, pangkat kehormatan disematkan oleh mereka dalam pandangan penduduk Arab. 

Adapun sesiapa di kabilahnya mempunyai penyair, maka kabilah tersebut akan naik derajatnya serta dihormati oleh kabilah lainnya. Otomatis pelayanan mereka terhadap para penyair sangat besar. Mereka akan menggelontorkan berapapun ribuan dirham untuk penyair agar selalu membuat syair yang melebih-lebihkan golongannya.

Ibn Qutaibah berpendapat : "Syair merupakan kekuatan yang dipakai oleh suatu suku untuk menancapkan eksistensinya, mendompleng kehormatannya dan mempertahankannya". Penyair jahili sangat suka mendendangakn syair mereka di tempat umum atau ditujukan kepada al-Mamduh (orang yang dihormati) seperti ketua panglima perang atau penguasa. 

Syair-syair yang diucapkan oleh penyair banyak ditulis pada dinding rumah, pelepah kurma, dedaunan kering, dan tulang belulang. Sebagai elit, mereka mempunyai kelebihan, baik dalam segi hafalan yang kuat, pengetahuan, pengalaman hidup, wawasan maupun dalam segi pengaruh di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, Bangsa Arab bahkan sampai hari ini menilai sastra tidak sekadar hiburan semata, melainkan juga sarana berdiplomasi dan pusaka kebanggaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline