Lihat ke Halaman Asli

taufiq candra

Saya adalah mahasiswa di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Tinggal Penyesalan

Diperbarui: 16 Desember 2017   22:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: jackieandbobby.com

Senandung mendung datang seketika di hadapanku. Entahlah pertanda apakah itu. Yang kutahu pasti, itu semua tidak baik bagiku. Dia adalah sesosok benda yang mungkin akan membawa dampak positif dan negatif. Di mana positif dan negatif seakan saling menjatuhkan dan menumbangkan.

Positif memang kuat, tetapi negatif juga tidak kalah kuatnya. Mereka saling beradu satu sama lain hanya untuk tujuan mencari pengikutnya masing-masing. Kelalaian dan kealpanku menghantam jiwaku sendiri membuat batinku menjerit tak menentu dalam kesunyian. Jeritanku memecah seluruh penjuru alam, bak sebuah gempa yang menerjang pemukiman.

Alasan usang yang tak berguna terlintas di pikiranku yang menandakan bahwa aku takboleh beranjak. Ratusan remaja-remaja tidak berdosa sepertiku menjadi korbanmu. Aku terlalu terlena dalam sebuah kenyamanan sesaat. 

Kerap kali aku berpikir ini merusak jiwaku, tetapi secepat kilat kuhapus semua itu. Mungkin aku terlalu takut untuk beranjak atau mungkin aku terlalu menikmati duniaku yang melarat.

Tanpa kaki, tanpa tangan, tanpa telinga, tanpa sanak saudara, dan tanpa muka aku bagaikan sebuah benalu di pepohonan. Di balik kota yang bergelimang, tetap ada orang-orang sepertiku yang merusak kemegahan kota metropolitan. 

Mungkin aku seorang buangan. Tidak ada satu pun orang di muka bumi ini yang menyukaiku, bahkan hampir semua orang membenciku dan membuang muka dariku. Kini, arang sudah menjadi abu dan nasi telah menjadi bubur. Jika semua telah berubah apa yang tersisa untukku?

Penguasa-penguasa dunia menyediakan kesempatan untuk kembali, namun orang-orang sepertiku hanya melirik tak tertarik dan langsung mengalihkan pandangan. Sempat hatiku berusaha menoleh, akan tetapi pikiranku menentang semua itu. Pikiran dan semua yang terbang di kepalaku melarang untuk kembali dengan jiwa dan ragaku yang telah hancur dalam ambang butiran-butiran debu. 

Apa yang mampu aku lakukan? Takada, hanya kosong dan hampa yang tersisa di sela-sela umurku yang kian kritis. Meskipun kalbu ini mengatakan masih ada secerca cahaya di sana. Namun, sesungguhnya dilemalah yang ada dalam penentuan yang takkunjung sirna.

Aku sadar bahwa tempatku berpijak kian gelap dan hitam pekat. Tempat sandaran ini telah berubah semakin jahat dengan membunuh orang banyak. Tidak ada yang bisa dihentikan, semua telah berjalan dengan sebagaimana mestinya. Mayat-mayat yang bergelimang di sisa-sisa pepuingan ini hanyalah mayat tak berarti dan berdosa. Mereka hanyalah sebuah bukti kekejaman dan kekhilafan semata. Tak berarti, tak bernilai, dan takada harganya sama sekali.

Saat ini aku sudah terlalu terlontar jauh. Aku sudah sampai di tepi. Berikanlah seribu kata puisi daripada satu rumus yang penuh janji di mana aku tidak mungkin dapat kembali. Kini, hidupku sama sekali tak memiliki arti. 

Aku telah kehilangan segalanya. Aku kehilangan semua yang aku miliki, baik cinta, kasih, dan harga untuk seorang pribadi. Seiring berjalannya waktu aku semakin jauh terjerumus dari semua janji-janji semu. Tenggelam dalam kesalahan yang mematikan, rusak dalam nada-nada kehancuran, dan sekarat dalam nyawa terempas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline