Raut wajahnya santun, bicaranya pelan dan sangat sopan, dan selalu menunjukkan sikap menghormati. Ia, kukira, tampak seperti seorang karyawan yang tak pernah menolak, selalu mau dan bersedia mendengar dan mematuhi perintah atasan.
HM. Prasetyo, atau yang akrab aku panggil Pras, laki-laki pendek dan agak gemuk, berusia sekitar 35 tahun- saat itu. Ia adalah salah seorang dari sangat sedikit pekerja-pekerja 'manutan' yang pernah kukenal. Pekerjaannya menyiapkan dan membuat gambar kerja. Drafter.
Pras memang seseorang yang sangat pendiam. Jika aku datang ke kantornya dan melakukan rapat koordinasi dengan Frans, atasan Pras, aku selalu melihat Pras dalam 3 perkara saja: bekerja, bekerja, dan diam. Diam tak bersuara.
Pras sangat berbeda dengan Frans yang lulusan teknik sipil institut negeri sangat keren di Bandung. Frans itu suka berbicara dan maunya ingin terus berdebat denganku - tentang apa saja. Dan, kupikir, Frans tetaplah Frans, tipikal site manager-site manager lainnya: selalu berangan-angan agar pekerjaan di lapangan dapat dikerjakan dan kelar dalam waktu yang secepat-cepatnya, efisien, dan memberikan profit yang baik bagi perusahaannya.
Yang aku ingat, sudah berkali-kali terjadi, dalam rapat koordinasi di lapangan, ia memintaku agar aku melonggarkan aturan-aturan ketat dan memerbolehkannya memulai pekerjaan dengan tanpa gambar detil yang disetujui terlebih dahulu.
Tetapi, meski ia nerocos begitu rupa, aku tetap bekerja dan teguh memegang prosedur bekerja. Kukatakan kepadanya bahwa sebelum gambar detil pekerjaan diajukan, direview, dan disetujui, tak kan kuijinkan ia memulai bekerja. Aturan adalah aturan...
"Tidak, pak! Gambar detil harus bapak buat. Harus disubmit, harus saya setujui dahulu sebelum bapak memulai melaksanakan pekerjaan," kataku. Kalimat itu, seingatku, selalu kuulang-ulang terus dalam beberapa kali rapat koordinasi.
"Tapi, ehm, maksud saya, jika saya harus menyelesaikan semua gambar terlebih dahulu, dampaknya mungkin proyek menjadi terlambat, pak."
"Maaf. Hanya detail drawing yang akan menjadi satu-satunya referensi bapak melakukan pekerjaan konstruksi. Tidak ada yang lainnya."
Akhirnya, Frans, atasan Pras yang gemar berdalih itu, menyerah. Tak berkutik.
Begitulah. Pras, barangkali karena disuruh Frans menyelesaikan gambar secepat-cepatnya, hanya bisa pasrah diberikan pekerjaan dengan due-date yang hampir tidak masuk akal. Ia lalu bekerja mati-matian menjaga janji. Dari beberapa kisah yang diceritakan teman-temannya, aku mendengarkan kabar bahwa ia bekerja dengan tidak lagi memedulikan waktu. Berpuluh-puluh hari ia bekerja hingga lewat di atas jam 2 dini hari. Dan, fatalnya, hanya bergelas-gelas kopi dan rokok yang menjadi teman setianya!