Dalam tulisan sebelumnya di Kompasiana (20/10/20), "Kesalahan Berpikir Masyarakat Pekerja di Indonesia", yang ditulis Hara Nirankara (HN), yang menjadi artikel utama, saya mendapati beberapa bagian tulisan sangat menarik, yang mengomentari rencana Tesla Elon Musk membangun pabrik di Batang, Jateng. Dan, tentu saja, ada juga bagian tulisan menarik lainnya tentang polemik antara yang setuju dan yang tidak setuju.
Tetapi, pertama, saya merasa perlu menyampaikan, bahwa saya sengaja memberi tanda kutip pada kata tanggapan, semata-mata untuk menyampaikan informasi bahwa tulisan ini tidak benar-benar bermaksud ingin mengomentari atau menanggapi pendapat Hara Nirankara seperti yang dipublikasikan. Tulisan ini hanya pendapat berbeda (saya) dalam semesta cerita dan persoalan.
Tapi kali ini topik bahasan atau ulasannya akan saya geser sedikit. Saya tidak ingin membahas mengenai studi amdal pabrik Tesla Elon Musk sebab saya bukan praktisi dan tidak merasa ahli dalam hal lingkungan. Pun tentang polemik antara yang setuju dan yang tidak setuju. Saya tidak perlu menangggapi.
Saya dan termasuk Anda yang berada di tengah-tengah dan mengikuti polemik, soal apapun, tahu bahwa mencari titik temu dari perdebatan-perdebatan yang mengemukakan dalil-dalil yang diyakini paling benar menurut masing-masing pihak memang tidak akan pernah mudah. Saya masih teguh meyakini kalimat bijak bahwa hanya karena satu pihak merasa benar, maka bukan berarti pihak yang lain itu salah.
Dalam ruang-ruang perdebatan, sekali lagi, soal apapun, pihak yang satu - seperti halnya pihak yang lain, pasti memuja-muja dalil yang dibawa dan dikemukakannya, lengkap dengan segala pesonanya.
Jadi, jika begitu, apa yang ingin saya tulis?
Hara Nirankara, dalam artikelnya itu, menuliskan bahwa dengan banyaknya pabrik yang berdiri, akan semakin merusak ekosistem alam Indonesia. Bisa dengan terjadinya deforestasi yang menyebabkan banyak hewan kehilangan habitat. Bisa juga terjadi melalui reklamasi yang semakin memperparah abrasi, dan penurunan permukaan tanah, hingga potensi tsunami.
Hara Nirankara benar. Bahwa industrialisasi, pendirian pabrik apapun, memang mungkin akan semakin merusak ekosistem alam. Saya setuju dengan pendapat ini.
Tetapi, kembali, kita hampir lupa kepada fakta bahwa di dunia ini nyaris tidak ada satupun industrialisasi yang benar-benar bisa 100% menyelesaikan tiga masalah utama, yaitu: murah, andal, dan ramah lingkungan. Industri yang seperti apapun, hemat saya, pasti hanya menjawab satu, atau dua, atau dua setengah masalah utama tersebut. Tidak ada yang benar-benar bisa menjawab ketiganya sekaligus. Tidak juga Tesla Elon Musk.
Jadi, inilah topik yang ingin saya ulas. Untuk membuat kita lebih paham, ijinkan saya mengambil salah satu contoh, misalnya, tentang pembangkit listrik.
Banyak pihak mengutarakan pendapatnya tentang "kebaikan" Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Tetapi, coba kita lihat juga, berapa banyak diantara kita yang mempertanyakan yang sebaliknya; apakah kebaikan PLTU itu sebanding dengan kerusakan yang dihasilkannya? Sebut saja, misalnya, pertanyaan-pertanyaan idealis yang mempertanyakan mengapa kita atau pemerintah masih saja mengoperasikan PLTU ketimbang menggunakan sumber energi lain yang ramah lingkungan, misalnya, tenaga panas bumi atau geothermal?