"We should not force our own interpretation upon others."
Sengaja kukutip kalimat dari Gus Dur di atas. Untuk meluapkan rasa kesal saya kepada Tyo, teman saya, karena telah empat hari terus menerus ia mengirimiku link-link berita 'sampah'. Ia, kukira, adalah makluk paling egois sebab terus menerus menuntutku bahwa pendapatnyalah yang paling benar!
Dalam catatan yang pernah saya simpan, link-link berita 'sampah' yang dikirmkan Tyo itu kukategorikan sebagai produk dari "jurnalisme selera rendah". Istilah ini pertama kali saya temukan ketika saya membaca tulisan ilmiah "The Faces of Indonesia Press From 1999-2011" yang ditulis oleh Erman Anom, profesor bidang komunikasi dan jurnalisme.
"Jurnalisme selera rendah", kata Erman, adalah representasi wajah jurnalisme Indonesia saat ini. Wajah jurnalisme setelah reformasi.
Dalam tulisan ilmiah "The Faces of Indonesia Press From 1999-2011" itu juga saya menemukan sebutan "jurnalisme plintiran" dan "jurnalisme talang air".
Jurnalisme plintiran, kata Erman, adalah sebutan jurnalisme yang memutarbalikkan fakta dan opini. Sementara "jurnalisme talangair" adalah jurnalisme yang "menuangkan" begitu saja informasi ke halaman suratkabar tanpa dipilih-pilih terlebih apakah bakal ada dampak merugikan untuk masyarakat, bangsa dan negara.
Intinya, saya hanya berusaha menyederhanakan uraian, "jurnalisme plintiran" dan "jurnalisme talang air" adalah produk jurnalisme opini.
Opini itu bukan Fakta
Sudah sejak dahulu saya meyakini bahwa fakta itu sebenarnya tidak ada di dunia ini, sebab yang ada adalah interpretasi. Interpretasi akan melahirkan opini.
Interpretasi adalah milik pribadi. Mengapa?
Anda boleh bertanya kepada seratus orang yang berbeda-beda dan Anda pasti akan mendapati fakta bahwa mereka memiliki interpretasi yang berbeda-beda untuk menafsirkan sebuah object/benda atau kejadian meskipun mereka menyaksikan object, benda dan/atau kejadian tersebut (bahkan) dari tempat dan waktu yang bersamaan.