"Ayo yah. Please, tolong dibantu kampanye, ya!"
Kalimat permintaan itu mampir ke ponsel saya beberapa waktu lalu. Dari istri saya...
Namun, beberapa menit kemudian, saya balas pesan itu dengan satu kalimat yang saya sesali beberapa saat kemudian. "Ayah tak tertarik. Jadi, biarkan saja kalah!!!!"
"Dulur-dulur (saudara-saudara) tolong bantu voting, ya! Klik link-nya, terus tekan jempol (like). Gratis kok. Terima kasih banyak." Kurang lebih seperti itulah pesan yang berkali-kali dikirimkan istri saya di WhatsApp grup keluarga.
Istri saya sangat berharap mendapatkan like sebanyak-banyaknya untuk anak saya Farah yang (sedang) mengikuti salah satu lomba yang diadakan sekolahnya. Tetapi, mendapatkan banyak like, ternyata, tak semudah yang dibayangkan istri saya.
Setelah dua hari, hanya 31 orang saja yang memberikan vote (like). Angka itu jelas tak sebanding dengan jumlah viewer (orang yang meng-klik link) yang telah mencapai seratus lebih sekian.
Itulah sebabnya, istri saya akhirnya mengirimkan saya pesan permintaan yang lantas saya balas dengan kalimat, "Ayah tak tertarik. Jadi, biarkan saja kalah!!!!"
Beberapa menit kemudian, balasan itu (baru) saya sesali. Ya, kesan yang barangkali ada di pikiran istri saya, seperti saya tak peduli atau tak menghormati atau tak meng-apresiasi apa pun atas usaha istri saya.
Dan, bahkan, setelah balasan itu, sampai 24 jam kemudian istri saya tak (lagi) mau membalas pesan-pesan saya lagi!
Tanpa bermaksud mendemotivasi istri dan semangat berjuang anak saya, harus saya akui bahwa sistem penjurian dengan menggunakan voting (like), itu serupa dengan mendegredasi apresiasi dan nilai karya.
Maksudnya, apresiasi atau like atas karya itu semata-mata pasti diberikan bukan atas dasar apresiasi atau pengakuan kualitas, tetapi lebih karena merasa tak enak, sungkan, atau karena kasihan.