Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Rahman

TERVERIFIKASI

profesional

Mau "Kehilangan" Uang 400 Juta? Jangan Tiru Saya!

Diperbarui: 11 Agustus 2020   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perumahan. (Sumber foto ilustrasi: Kompas Properti)

Saat itu, tahun 2013, setelah "kelelahan" berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, saya akhirnya memilih Jakarta sebagai kota terakhir dari perjalanan (karir) saya. 

Sebelumnya, saya sudah berpindah-pindah tempat bekerja sampai 15 kali, mulai dari perusahaan sangat-sangat kecil yang serupa CV yang jumlah karyawannya hanya 4 orang sampai perusahaan global multinasional yang kantornya ada di lebih dari seratus negara (setidaknya, saya menghitung dari laman resminya).

Beberapa hari sebelum saya tiba di Jakarta, saya mendadak kebingungan menjawab pertanyaan di kepala saya: akan tinggal di mana di kota eksklusif ini? Ada beberapa opsi yang sempat saya pikirkan waktu itu; membeli rumah, membeli apartemen, atau nge-kos?

Rumah? Ah, tidak. Itu jawaban paling cepat atas pertanyaan di atas. Rumah, bagi saya, itu terlalu besar. Saya hanya tinggal sendirian, tidak membawa istri dan anak-anak. Yang kedua, mana ada cerita perumahan 'murah' di Jakarta? Jawabannya jelas: tidak ada!

Pilihan kedua: apartemen. Ini opsi lebih memungkinkan daripada perumahan. Ada beberapa apartemen yang berlokasi sangat dekat dengan alamat kantor saya; Mega Kuningan. 

Bahkan, ada apartemen yang hanya perlu 5 menit saja dengan jalan kaki saja dari lobby apartemen ke lobi kantor saya. Tetapi, alamak, harganya sangat mahal. Satu milyar koma sekian - hampir 2 milyar.

Ada (sebenarnya) apartemen yang harganya lebih ramah. Lokasinya di belakang komplek World Trade Centre 2 Jakarta. Harganya sekitar 800 juta untuk tipe studio. Tetapi, saya ternyata masih harus mencari tempat parkir untuk kendaraan saya karena parkir apartemen sudah penuh oleh mobil-mobil penyewa yang sebelumnya. Leave it..

Dan, setelah menghitung dan menimbang banyak pertimbangan, pilihan akhirnya jatuh ke opsi kos atau kostel (kos n hotel) dengan harga sewa 4,5 juta sebulan. 

Mengapa saya memilih kostel, padahal (kan) ada banyak pilihan kos yang harganya sangat ramah, misalnya hanya 2,5 juta rupiah sebuan? Jawabannya; karena saya membawa mobil (yang sebenarnya nyaris tak pernah saya pakai). 

Ada banyak sekali kosan cukup bagus (ber-AC, kamar mandi dalam, dan ber-wifi), tetapi sayang mereka tidak memiliki halaman luas. Atau, jika memiliki, kadang-kadang lokasi kos-nya ada di gang sempit yang tak bisa dilalui mobil.

Maka, pilihan kostel yang seharga 4,5 juta sebulan itulah opsi paling mungkin dan masuk akal. Tahun itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline