Suatu kali, seorang teman mengunggah pesan 'kontemplasi' di grup aplikasi WhatsApp yang saya ikuti. Pesan itu, seperti pesan-pesan lain yang serupa, yang saya yakin Anda pasti pernah menerima, tampak seperti benar adanya: mengajak memperbanyak beribadah.
Kematian akan disusul kematian
Tidak ada yang akan menolongmu, melainkan hanya sholatmu. Lalu mushafmu (mengajimu)
Saya, sebenarnya, ingin sekali menuliskan beberapa kalimat saja -dari hampir banyak kalimat yang ingin saya sampaikan. Tetapi, saya ragu. Musababnya: saya tak ingin ada perdebatan sebab hubungan pertemanan saya pernah merenggang karena saya pernah menuliskan komentar tentang keyakinannya (agama).
Yang menarik: sehari kemudian, saya juga menerima pesan dari orang lain yang serupa - yang isinya sama persis. Dan, ternyata, selang 2 hari kemudian, seseorang yang lain lagi juga mengirimkan pesan yang sama lagi.
Saya sebenarnya tidak menyalahkan isi pesan 'kontemplasi' itu. Saya setuju dengan pesannya. Tetapi, pikiran dan pendapat nakal saya kadang-kadang ingin memberontak. Tidak sepenuhnya sependapat dengan pesan 'Tidak ada yang akan menolongmu, melainkan hanya sholatmu. Lalu mushafmu' yang ditulis dengan huruf-huruf besar.
Mangapa harus menggunakan kata 'hanya'? Tidak ada kah yang lainnya?
Akhir-akhir ini, menurut saya, memang sering terjadi 'kekeliruan' pemahaman dan penyematan pengertian cara mendefinisikan hubungan manusia dengan Tuhannya. Saya tadinya curiga bahwa 'kekeliruan' itu mungkin berpangkal pada keyakinan sebagian orang, bahwa ritual ibadah memang menjadi inti dari intinya beragama. Bukankah, sejak saya masih kecil saya memang sudah 'didoktrin' demikian?
Bukannya melakukan dan memperbanyak ritual (ibadah) itu salah, namun definisi hubungan manusia dengan Tuhannya dalam masyarakat kita memang seringkali hanya diterjemahkan ke dalam tema-tema stagnan yang itu-itu saja: ibadah, membaca kitab suci, menghafal ayat-ayatNya, dan narasi-narasi serupa. Narasi yang seperti ini terus saja saya terima sejak kecil, berulang-ulang dengan format yang kurang lebih sama, mendegradasikan nilai dan hakekat agama yang sesungguhnya.
Maka, jangan heran saja jika kemudian sikap dan cara memahami agama kita yang formalistik itu kini tampak telah mengungguli rasa iba, nalar, empati, kebutuhan menyayangi, merambatkan kasih, tidak menyakiti bahkan rasa menyatu dengan Tuhan -yang justru menjadi hakikat beragama itu sendiri. Tuhan itu sebenarnya bisa ditemukan di mana saja; di kantor, di pabrik, di jalan raya, bahkan di penjara. Apakah Anda pernah membaca kisah segelintir orang yang menemukan gagasan dan pengalaman menyentuh tentang agama justru ketika mereka berada di dalam penjara, seperti misalnya: Sukarno dan Johny Indo?
'Kekeliruan' keyakinan yang selama ini terus kita bagi-bagikan itulah yang telah membuat kita menjadi enggan beranjak dari sekadar merayakan formalisme agama dan sakralitas simbol. Bukankah orang-orang yang mendedikasikan waktunya untuk bekerja demi kelurganya, para penyapu jalanan, orang-orang yang sedang belajar, dan orang-orang yang menyapa kita dengan ramah, adalah mereka yang sudah menafsirkan, menjelaskan, dan mempraktikan nila-nilai dalam ayat-ayat Tuhan? Bukankah itu adalah hakekat agama?