Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Rahman

TERVERIFIKASI

profesional

Siapa Bilang Bekerja di Proyek Itu Tidak Enak?

Diperbarui: 2 Juli 2020   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto ilustrasi: magazine.job-like.com

Saat itu, awal reformasi, Indonesia begitu menakutkan. Inflasi rupiah dan meningkatnya harga sebagian besar barang dan bahan makanan menimbulkan kekacauan di mana-mana. Saya baru saja menikah dan masih bekerja di Gresik, Jawa Timur, setelah pindah dari proyek PLTU Paiton. 

Berbulan-bulan saya merasa tidak tenang. Berdebar dan gelisah. Membayangkan jika proyek tempat saya mengais rejeki mendadak diberhentikan sebab proyek besar itu memang dibiayai asing. Mertua macam mana yang tak cemas mendapati menantunya menganggur?

Dari Gresik, saya lalu berpindah-pindah tempat pekerjaan. Jakarta, Bojonegoro, Balikpapan, Pontianak, Medan, Pekanbaru, Perawang, Duri, Denpasar, Batam, Cilacap, dan masih banyak tempat-tempat lainnya.

Kota di luar negeri yang pertama kali saya datangi adalah Seoul. Itu terjadi pada akhir 1999. Saya menyaksikan, Seoul (Korea Selatan) tumbuh menjadi negara industri. Di mana-mana ada banyak pabrik. Mereka tidak mempunyai sumber daya alam sekaya Indonesia, tetapi mereka sangat maju. 

Penduduknya sangat disiplin dan gila bekerja. Pagi pukul 07.00, mereka tergesa-gesa berjalan menuju kantor dan pabrik. Di negeri ini pula saya mengenal ahjumma dan ahjussi (bibi atau paman). Meski usia mereka sudah senja, tetapi kulihat mereka tetap tekun bekerja. Di ladang dan dimana-mana. 

Mereka sangat giat dan seperti tak kenal letih. Korea Selatan yang pernah tercabik-cabik perang saudara, bangkit menjadi kota modern dan maju. Saya kerap membayangkan mungkin Indonesia juga bisa seperti itu andai saja penduduk Indonesia bisa sedisiplin mereka...

Singapura juga menawan. Negeri sekaligus kota ini tumbuh menjadi surga bagi mereka yang gemar berbelanja. Kecil, tapi luar biasa. Begitu juga dengan Malaysia dengan kota wisatanya di Melaka dan Thailand, yang diminati banyak orang Indonesia itu. Saya juga pernah menyaksikan Eropa! Benua yang dulu nyaris hanya ada dalam mimpi-mimpi saya.

Tak pudar kenanganku, dulu, ketika saya masih kecil, sewaktu hidup keluarga saya masih susah hingga pernah beberapa hari kami hanya makan karak dengan parutan kelapa (karak: sisa nasi yang dikeringkan lalu dimasak kembali). Ibuku menangis. Ayah pun hanya diam tak bersuara. Tetapi, yaps, siapa sangka akhirnya saya pun bisa menginjakkan kaki di Eropa.

Karena saya bekerja di proyek-proyek besar, saya berteman dengan banyak karyawan dari banyak negara dan ragam kebudayaan. Orang-orang Eropa dan Amerika, sebagaimana dicirikan sebagai orang terpelajar, langkahnya lebih pelan dari orang Jepang dan pandai melakukan negosiasi.

Orang-orang Philipina sangat menyenangkan. Mereka dan orang-orang dari India saya lihat banyak sekali yang bekerja di proyek-proyek internasional dibandingkan orang Indonesia. Yaps, kukira ini karena kemampuan mereka dalam berkomunikasi (faktor bahasa) yang lebih baik dari orang Indonesia.

Pekerja Indonesia, menurut pendapatku, (sebenarnya) adalah pekerja-pekerja yang bagus. Mereka disukai, tidak ngeyel, jarang menuntut, tetapi, saya harus mengatakan jujur (secara umum) mereka memang kalah cakap dalam berkomunikasi dibandingkan Philipina dan India.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline