Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Rahman

TERVERIFIKASI

profesional

The Death of Mainstream Media

Diperbarui: 16 Juni 2020   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto ilustrasi diolah dari: freepik

Pertama, saya merasa perlu menyampaikan, bahwa judul di atas, "The Death of Mainstream Media", mungkin pernah ada atau mungkin sama dengan judul artikel-artikel yang sebelumnya pernah dipublikasikan. Sama sekali tidak ada niat menyalin, tetapi sekedar terilhami oleh judul tersebut.

Kedua, kisah ini adalah kisah dan pengalaman saya. Bukan kisah mereka.

***

JUJUR, meski saya jelas-jelas atau sama sekali tidak memiliki latar belakang sebagai pewarta atau pernah mempunyai pengalaman mengelola media, tetapi, pada satu waktu, sekitar satu setengah tahun yang lalu, entah mengapa, keinginan memiliki media tiba-tiba datang begitu saja. Hasrat itu begitu menggebu!

Pada saat itu, saya seperti merasa "iri" dengan kisah beberapa inovator dan kreator muda, yang berbakat dan sukses, yang memulai bisnisnya di media sosial. 

Seperti kisah milik Winston Utomo, yang mendirikan start-up media yang berbasis internet dengan label IDN Media. Konon, hanya dalam waktu 4 tahun (saja), mereka sudah sukses menggaet 50 juta orang pengunjung per bulan. Dan, dalam waktu yang demikian singkat itu, mereka juga sukses berada di posisi kedelapan dari 10 besar.

Atau kisah mas Alifurrahman dengan seword-nya (https://seword.com). Atau juga kisahnya mas Zulfikar Akbar, yang juga seorang Kompasianer, yang berhasil mendirikan Tularin (www.tularin.com).

Jika mereka bisa, mengapa saya tidak bisa! Itu yang ada di otak kepala saya. Saat itu. Toh, Baskoro, teman saya yang menjadi manajer HSE perusahaan minyak, juga bisa memiliki radio...

Pada saat itu, saya mendadak merasa bahwa media sosial mungkin akan menjadi tempat yang akan membuat saya menjadi besar. Tempat semestinya aku bisa membalas hidupku sendiri, berpuluh tahun di belakang, yang pahit itu. 

Atau media mungkin akan menjadi tempat istirahatku setelah selama ini saya hanya sibuk menjadi karyawan dengan rentetan aktivitas dan ritme hidup yang 'begitu-begitu' saja.

Maka, untuk melihat apakah angan-anganku itu hanya sekedar mimpi atau bukan, pada satu hari, di sebuah kedai, sambil menikmati panganan kecil dan teh, saya menemui mas Frans dan kenalannya yang bekerja sebagai seorang web designer. Kepadanya, lalu saya utarakan mimpi dan keinginan saya: memiliki media.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline