Entah kenapa, kemarin, saya tiba-tiba merasa tertarik membaca-baca koran 'setengah lawas' yang bertumpuk begitu saja selama beberapa hari di meja kerja saya. Koran cetak itu bertanggal 2 Juni 2020.
Saya mengatakan 'setengah lawas' sebab, oleh Office Boy, koran yang tak saya baca lebih dari 2 (dua) hari biasanya akan langsung mereka simpan di gudang kantor. Saya tertarik membaca salah satu artikel yang dimuat harian Kompas yang berjudul "Tersandera Karut-marut SIKM", yang dipublikasikan pada Selasa (2/6/20).
Kenapa saya tiba-tiba tertarik membacanya?
Mendengarkan cerita dan pengalaman Frans dan Baskoro yang ditolak berkali-kali saat mengurus Surat Izin Keluar-Masuk (SIKM) Jakarta, yang pernah menjadi rerasan/pergunjingan di kantor tempat saya bekerja, itulah yang menjadi sebab saya tertarik dengan judul artikel tersebut. Apa yang dialami Frans dan Baskoro kok ya sangat klop dengan artikel yang dimuat Kompas tersebut..
"Ditolak berkali-kali, Pak. Pasti banyak sekali orang-orang yang senasib dengan saya," kata Frans sewot. "Belum tahu nih, pak, bagaimana saya bisa berangkat (ke Gresik, Jawa Timur). Padahal, tiga hari lagi ada pekerjaan testing pancang."
Mendapati kenyataan itu, ditambah lagi dengan tuntutan pekerjaan yang tidak boleh diberhentikan, staf HR kantor tempat saya bekerja akhirnya berinisiatif menghubungi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta. Tetapi, sialnya, teleponnya tidak pernah tersambung.
Mengapa Surat Izin Keluar-Masuk (SIKM) yang diajukan Frans dan Baskoro itu tidak lekas kelar? Padahal itu sangat dibutuhkan karena Proyek yang sedang kami kerjakan itu harus terus beroperasi? Bukankah mereka adalah karyawan-karyawan yang bekerja di salah satu sektor yang dikecualikan menurut aturan: energi dan konstruksi?
"Tidak tahu, pak. Pokoknya ditolak. Salahnya apa dan dimana, saya juga tidak tahu," terang Frans.
Kepada saya, Bram, teman saya yang lainnya yang masih sekantor, juga membagikan pengalaman kesalnya mengurus Surat Izin Keluar-Masuk (SIKM) Jakarta, kemarin. Ia mengaku ditolak berkali-kali saat mengurus izin surat tersebut secara online. Bram berniat akan pulang ke Padang karena istrinya sebentar lagi akan melahirkan. "Minggu depan (kelahiran anak pertama), pak" katanya.
"Barangkali jika pengalamannya dibagikan di media sosial dan didengarkan banyak orang, bisa sedikit membantu, mas?" tanya saya.
"Sudah, pak," kata Bram. "Sudah saya bagi-bagikan di akun Twitter saya dan men-tag akun resminya Anies Baswedan. Tetapi, yaaa.. tetap tidak berhasil."