"Barangkali sebaiknya kamu pulang saja Nur, lupakan keinginanmu sekolah di Jakarta ... "
"Kamu sekolah di kampung saja, menemani ibumu, biayanya pasti murah."
Hening sesaat.
"Kamu tidak usah sekolah di Jakarta, ya?" pinta ayahnya.
"Saya mau melanjutkan sekolah di Jakarta, pak! Masa saya sekolah di kampung terus? Bosan!" Sikap Nur sudah bulat, dia mending tidak kuliah ketimbang kuliah di sekolah yang dia tidak senanginya.
Keteguhan hati Nur untuk kuliah di universitas 'elit' di Jakarta itu akhirnya membuat ayah dan ibunya kembali terjebak dalam kebimbangan dan membuat keputusan di luar keinginannya. Pak Yatno terpaksa melepas Nur pergi dengan berat dan mulut tertutup rapat.
Dengan bekal uang hasil menggadaikan sepetak tanah, Nur pergi, dan telah menambahi tumpukan hutang demi sekolah anak perempuannya itu.
Utang yang sebelumnya belum lunas kini terus bertambah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan hidup Nur di Jakarta, hingga akhirnya membuat pak Yatno tak lagi berani menolak saat ibunya meminta izin menyusul ke Jakarta menjadi tukang cuci pakaian, mengikuti jejak adik-adiknya yang sudah lebih dulu tinggal dan bekerja di Jakarta.
Kini, setelah istrinya pak Yatno menyusul ke Jakarta, rumah yang tertinggal di kampung bagai tempat asing, sebab hanya ditinggali adik Nur yang laki-laki dan buleknya. Adiknya itu kerap bercerita merasa asing di rumah sendiri sendiri..
Usai pak Yatno, ayah Nur, yang menjadi sopir di Jakarta itu membagikan kisah anaknya itu kepada saya, beberapa saat saya terdiam bungkam. Pada saat itu, saya mendadak ingat hidupku sendiri, berpuluh tahun di belakang, di sebuah masa, saat saya masih berseragam sekolah. Saya masih mengingat saat pahit itu. Ibu dan Ayah kulihat kerap memanggul koran bekas untuk dijual semata-mata untuk bisa membayar SPP sekolah saya. Yang sudah menunggak beberapa bulan.
***