Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Rahman

TERVERIFIKASI

profesional

Dear Detikcom, Jangan Buat Aku Meninggalkanmu

Diperbarui: 27 Mei 2020   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto ilustrasi: Dokumen Pribadi

Jujur, saya adalah termasuk pembaca setia (media) Detik. Dibandingkan portal berita lainnya seperti: tempo.co, kompas.com, republika.co.id, dan media Indonesia, hanya Detik yang mampu menyita paling banyak waktu saya.

Namun, kemarin, saya sedikit kaget ketika Frans, teman saya, mengirimi saya link artikel (lebih tepatnya 3 judul berita) di Detik yang, menurut Frans, sangat tidak sesuai dengan jiwa dan marwah pers. "Tugas pers itu mengabarkan, bukan membangun opini dan narasi," katanya.

Judul (pertama) berita di Detik yang Frans kirimkan ke saya itu ditulis seperti ini: "Jokowi Pimpin Pembukaan Sejumlah Mal di Bekasi Siang Ini di Tengah Pandemi". Lalu judul yang kedua: "Pemkot: Jokowi Siang Ini ke Bekasi, Dalam Rangka Pembukaan Mal". Dan, judul yang ketiga: "Pemkot Bekasi Luruskan soal Kunjungan Jokowi: Cek Persiapan New Normal".

Jika saya amati judul dan membaca isinya, sebenarnya mudah saja saya menebak maksud dan tujuan Detik merilis berita dengan judul "Pemkot Bekasi Luruskan soal Kunjungan Jokowi: Cek Persiapan New Normal". Judul berita ini jelas dimaksudkan sebagai pemberitahuan ralat dari berita yang sebelumnya.

Tetapi, meski sudah ada "ralat" dengan merilis berita dengan judul yang ketiga, seperti biasanya, panggung linimasa kembali dibuat riuh oleh pendapat dan opini gara-gara berita Detik ini.

Detik dan produksi pers-nya kembali disorot dan diperbincangkan.

Pelbagai pendapat ramai ditulis di kolom-kolom komentar. Mereka menyampaikan rupa-rupa rasa prihatin, gemas, kesal dan dongkol yang tentu saja ditulis sesuai dengan format masing-masing. Hanya sedikit dari mereka, atau bahkan hampir tidak ada, yang menuliskan harapan untuk Detik ke depannya.

"Pers, termasuk media mainstream, sudah kehilangan jiwanya, marwahnya dan idealisme," tulis mereka.

"Menurut saya, banyak yang tidak menjalankan pentingnya public trust," tulis yang lainnya.

Saya tak membaca satu persatu komentar. Tetapi, pendapat yang ditulis di kolom-kolom komentar itu yang mencapai ribuan itu sangat riuh suaranya. Seperti biasanya.

Dan, karena setidaknya apa yang ditulis orang-orang itu sudah cukup bisa mewakili rasa prihatin saya, maka saya (melalui tulisan) ini memutuskan tak hendak berbicara soal keriuhan itu lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline