Mudik adalah fenomena unik yang hanya bisa dijumpai di Indonesia. Upaya aktualisasi pertemuan belasan juta manusia untuk pulang dan bertemu dengan keluarga mereka dalam waktu yang hampir bersamaan benar-benar menjadikannya sebagai aktifitas terbesar berpindahnya manusia yang pernah dilakukan di muka planet yang bernama bumi.
Mudik itu (sebenarnya) sangat merepotkan, tidak rasional, menguras tenaga, uang dan emosi. Banyak pemudik yang tega 'menyiksa' anak-anak mereka dengan cara mendudukkan mereka di dekat setang sepeda motor, dan kemudian membiarkan buah hati mereka didera panas, debu dan asap. Pemandangan berkerumunnya manusia di terminal, di bus, mencari dan membawa pulang oleh-oleh, dan bahkan kadang-kadang mereka harus siap mempertaruhkan nyawa di jalanan. Tetapi, meski demikian, kenyataannya, orang-orang tetap saja melakukan mudik setiap tahunnya.
Tetapi, itu adalah cerita jaman "dulu". Kini, tahun 2020, mudik dilarang oleh Pemerintah.
Banyak yang merasa jengkel dan marah karena tidak bisa mudik. Sembari dongkol di hati, mereka akhirnya hanya bisa tinggal rumah. Bagi mereka yang tinggal di kontrakan atau kosan, mereka hanya bisa berlebaran dengan teman-teman kos. Atau dengan kucing kesayangan mereka.
Jika sebagian orang terpaksa merasa jengkel dan dongkok karena tidak bisa mudik, ternyata, sebagian lagi tidak. Mereka yang bisa lolos dari pemeriksaan petugas tentu saja berbahagia sebab mereka bisa berjumpa dengan keluarga besar mereka di kampung, dan lantas me-share foro-foto mereka di twitter dan facebook atau mengirimkan ke grup keluarga. "Kebahagian mereka" itu tentu saja menimbulkan rasa cemburu. Iri.
Bagaimana tidak?
Pada saat sebagian masyarakat ingin sekali berusaha patuh dan taat kepada instruksi Pemerintah dan harus memendam rindu menghirupi aroma dedaunan yang dibawa angin di desa seperti jaman waktu mereka kecil dulu atau kangen bertegur sapa dengan teman bermain, ternyata sebagian yang lainnya tetap bisa pulang. "Mengapa saya tidak bisa, tetapi mereka bisa?" batin mereka dalam hati. Begitulah barangkali..
Bisa jadi, di Lebaran tahun depan, mereka sudah tidak bisa lagi bertemu simbah, pakde, atau sanak saudara lain sebab siapa yang bisa tahu takdir yang akan datang?
Massa yang mengabaikan anjuran Pemerintah yang mendatangi pusat-pusat perbelanjaan dan pasar tradisional di berbagai daerah juga menciptakan kecemburuan dalam bentuk yang lain. Sebagian yang memilih menunda berbelanja tentu saja merasa dongkol, cemburu dan iri.
Mereka seperti tidak sensitif dan tak berempati sedikitpun kepada kerja keras petugas medis yang sedang berjibaku tidak pulang hanya untuk merawat orang-orang yang terinfeksi Covid-19.
"Mengapa saya tidak bisa, tetapi mereka bisa?"