Setelah sempat dibatalkan Mahkamah Agung dan melalui perdebatan panjang sebelumnya, Pemerintah akhirnya (kembali) memutuskan menaikkan iuran peserta Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mulai Juli 2020.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan memprediksi tanpa ada kenaikan iuran, defisit keuangan BPJS Kesehatan akan terjadi dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Selain defisit keuangan, BPJS Kesehatan juga dikabarkan sedang dihantui persoalan penyimpangan (fraud) atau korupsi dalam pengelolaan keuangan.
Banyak yang mempersoalkan kenaikan iuran dan lalu beramai-ramai membicarakannya. Kenaikan iuran BPJS, saya yakini sebelumnya, persis dan serupa dengan kisah-kisah yang sebelumnya; ada yang setuju dan ada yang tidak. Bagi yang tidak setuju, mereka menganggap kenaikan BPJS di tengah Corona sama saja dengan menipu dan (bahkan) menzalimi rakyat.
Lantas, apakah melalui tulisan ini saya ingin ikut bergabung dalam debat pro-kontra pendapat masyarakat tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan?
Tidak. Sama sekali tidak. Saya tidak ingin menulis tentang putusan mahkamah agung, tentang pendapat yang pro dan kontra, dan tentang hantu persoalan penyimpangan sebab saya tidak suka berdebat dan mendengarkan debat.
Melalui tulisan pendek ini saya hanya ingin menulis dan membagikan kepada pembaca K anggapan dan pengalaman saya ikut menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Sedari awal saya sudah menganggap iuran BPJS Kesehatan adalah serupa dengan sedekah. Dengan demikian saya tak pernah berpikir keuntungan apa yang akan saya dapat dengan ikut BPJS Kesehatan.
Bagi saya, dengan ikut BPJS berarti saya telah ikut membantu orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan atau ingin dibantu seperti (misalnya) salah satu saudara saya sendiri yang pernah menjalani satu operasi di rumah sakit umum di Surabaya setahun silam.
Setelah selesainya proses operasi itu, saudara saya (ternyata) hanya membayar sejumlah uang yang tak sampai 75 ribu rupiah. Saya sangat kaget. Sebab seharusnya biayanya pasti besar. Dan benar saja, menurut kabar dari dokter yang merawatnya, jika tidak ada BPJS, saudara saya mestinya harus membayar sejumlah paling tidak 35 juta rupiah.
Sungguh, kisah setahun silam itu membuat saya terharu.