Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Rahman

TERVERIFIKASI

profesional

Mempunyai Pendapat Berkebalikan dari Kebanyakan Orang Itu Sulit

Diperbarui: 11 Oktober 2019   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar ilustrasi: www.hart.ro

RUU KUHP dan UU KPK tengah ramai diberitakan, diperbincangkan dan diperdebatkan. Beragam tanggapan pun muncul. Di panggung media sosial juga sama: riuh dikomentari. Seperti biasanya.

Saya tadinya mengira, keriuhan komentar itu (mungkin) hanya akan ada dalam mesin gawai saya saja. Tetapi, ternyata saya salah.   

Dampak perdebatan RUU KUHP dan UU KPK, bagi (kehidupan) saya, benar-benar tidak masuk akal. Meski saya (sebenarnya) tidak menyukai dan lebih kerap menghindari debat bertele-tele yang membosankan, tetapi, ternyata, saya akhirnya tetap tidak bisa menghindarinya. 

Setelah "bersitegang" dengan teman-teman saya, saya pun harus terpaksa "kehilangan" mereka gara-gara RUU KUHP dan UU KPK itu.  

Bram, teman saya yang menjadi pekerja kantoran, pernah menyemburkan berpuluh-puluh kalimat yang tentu saja ia barengi dengan dalil-dalil yang ia yakini benar menurut formatnya sebelum ia akhirnya tak bertegur sapa dengan saya usai saya sampaikan pendapat bahwa saya setuju dengan revisi UU KPK.

Mbak Ida, teman saya yang lain, juga menjauhi saya dan tidak bertegur sapa hingga beberapa minggu usai kepadanya saya sampaikan pendapat saya tentang RUU KUHP. Saya merasa salah, ia (ternyata) tidak saja seperti kebanyakan orang yang tidak setuju UU KUHP direvisi, tetapi ia juga pengagum sistim Islam yang sedang ramai diperbincangkan hari ini. 

Maka, usai saya sampaikan pendapat saya, tak hanya opininya saja yang ia sampaikan tentang KUHP, tetapi dalil-dalil Alqur'an pun ia hambur-hamburkan untuk meneguhkan saya sedang salah.

Usai kejadian itu, maka, tegur sapa dan jawab singkat yang biasanya renyah ketika kami berjumpa di warung mpok Ijah, warung di pojok gang dekat kostel yang saya sewa, sekarang sudah tidak ada lagi. Bram dan mbak Ida lebih sering memilih bergegas membayar belanjaannya lalu pergi ketika saya tiba di warung hendak membeli kopi.

Padahal, dahulu, aku sangat menikmati obrolan mereka, dan sesekali ikut memberikan komentar kecil ketika kami berbincang-bincang tentang pekerjaan masing-masing. Atau ketika kami sedang berbicara tentang unicorn Indonesia yang gagah itu.

Di forum-forum WAG dan media sosial yang saya ikuti, keadaannya juga nyaris sama. Di ruang yang kerap disebut sebagai pabrik hoaks yang polusi dan dampaknya kini sudah merusak kemaslahatan umat, saya beberapa kali malah disebut oleh mereka sebagai "buzzer" dan "cebong".

"Penjilat," kata mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline