Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Rahman

TERVERIFIKASI

profesional

Cerpen | Molly, Meli, dan Aku

Diperbarui: 22 Januari 2019   18:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Pixabay

Saya menemukan molly persis di depan pintu kamar kontrakan saya. Suatu pagi.

Dengan bulatan putih di hidung yang warnanya sangat kontras dengan warna tubuhnya yang dipenuhi bulu berwarna hitam, molly jantan tampak sangat manis.

Saya nyaris hendak mengusirnya pagi itu. Tetapi, begitu saya melihat sorot matanya, yang tajam, saya tiba-tiba menjadi iba. Seandainya saya bisa memahami bahasanya, melalui sorot matanya itu, mungkin molly ingin meminta belas kasihan saya. Dan tentu saja: makan.

Maka, segera saja saya ambil beberapa ikan pindang dari dalam kulkas dan saya taruh di piring plastik yang biasa saya sediakan untuk kucing betina yang kerap datang ke kamar sebelumnya.

Molly segera memakan ikan pindang di piring plastik itu. Dengan sangat lahap. Sesekali ia mengangkat kepalanya yang bulat lalu menatap ke arahku. Melanjutkan makan lagi. Saya pikir, mungkin ia sangat lapar...

Usai menghabiskan ikan pindang, molly duduk selonjoran di lantai. Di pojokan kamar. Matanya tetap tajam menatapku. Ah, sorot matanya itu seperti mampu menembus ruang paling dalam perasaan saya. Aneh! Aku seperti bisa menterjemahkan dan mengerti permohonannya: ia minta perlindungan. Aku mengusap kepalanya dan lalu membawanya keluar kamar karena aku harus segera berangkat bekerja.

Seperti pagi tadi, hari itu, malam harinya, molly datang kembali ke kamarku. Dan ia minta makan lagi. Aku membuka kulkas dan memberinya ikan pindang.

Molly. Panggilan itu tiba-tiba saja melintas di kepala saya. Pikir saya, agar mirip dengan meli -- nama kucing betina yang sebelumnya sering mampir di kamar saya.

Sejak hari itu lah, kucing dengan bulatan putih di hidung itu selalu datang ke kamar. Setiap pagi dan malam. Ia seperti hafal, kapan saya ada dan kapan saya tidak ada.

Saya kerap iba dan bahkan merasa bersalah jika molly datang dan saya tak bisa memberinya ikan pindang. Maka, setelah itu, demi molly, aku pun mulai lebih rajin membeli ikan pindang di satu pasar tradiosional. Di bilangan setiabudi Jakarta selatan. Sebelum saya berangkat bekerja.

Kadang-kadang, ketika saya pulang bekerja, ketika malam sudah sangat larut, molly sudah menungguiku di pertigaan jalan di dekat pangkalan ojek atau di depan pagar besi rumah kontrakan. Lalu ia menguntit di belakangku, atau berlari-lari kecil di depanku. Jika ia di depan, sesekali ia berhenti, menengokkan kepalanya ke belakang, sekedar memastikan bahwa saya masih berjalan di belakangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline