"Mas bisa ke Tangerang?" tanya Frans melalui pesan yang ia kirim ke gawaiku. "Sakit adik saya semakin parah."
"Aku sibuk sekali minggu ini, mas. Mungkin minggu depan, yahh?" balasku cepat.
"Noted. Saya tunggu minggu depan ya. ...." Lalu klik.. hape kumatikan. Saya bergegas pergi. Sebentar lagi harus rapat.
Berada di aspal kota Jakarta, siang hari itu, terasa sangat panas. Matahari bersinar sangat terang di langit ibu kota. Di atas sadel motor abang ojek, saya memikirkan Meta. Sudah kesekian kalinya Frans ngotot mengajak saya menemui Meta.
Meta didiagnosa menderita sakit kanker rahim sangat akut. Kata dokter, ia harus mengambil istirahat total. Tetapi, Meta "keras kepala", kata Frans. Ia sedikitpun tak pernah mau mengikuti apa kata dokter. Sejak ia divonis sakit kanker rahim dan dokter yang memeriksanya mengatakan tak lagi bisa menghentikan sakitnya itu, Meta terus memaksa dirinya bekerja, merawat kedua putrinya yang masih kecil, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan menjaga toko kecilnya di mulut gang. "Kasihan anak-anak, mas," katanya.
Meta juga tak pernah berpikir menikah lagi. Hari-harinya hanya diabdikannya untuk dua orang putinya. Kini kedua putrinya sudah berusia 7 tahun dan yang paling kecil 4 tahun.
Ketika Meta menikah dengan Wahyu, seperti yang dikisahkan Frans kepada saya, Meta tampak sangat "menderita" hampir sepanjang kebersamaannya dengan mantan suaminya itu. Wahyu kelihatan seperti seorang suami yang sangat tidak mau mengerti. Meta mengerjakan hampir segala hal. Menyiapkan tetek bengek urusan anak-anaknya sebelum sekolah, memasak, mencuci, menyeterika dan ikut mencari nafkah dengan cara menunggui warung di depan rumahnya. Tak seberapa uang yang ia peroleh dari warungnya itu.
Di rumah, suaminya adalah "raja". Jika ada sedikit saja yang salah -- yang remeh temeh, suaminya selalu menyalahkannya. Suaminya tak suka handuk yang basah habis dipakai mandi diletakkan anak-anaknya di sembarang tempat. Ia juga sebal melihat sepatu sekolah anak-anak yang berserak-serak tak karuan. Dan berkali-kali pula suaminya marah ketika mendapati tembok rumah dicoret-coret dengan spidol oleh Farah dan adiknya. Meta tak berani melawan.
Namun, meski begitu, saya melihat hal aneh ada pada diri Meta. Di depan orang, ia seperti ingin tampakkan bahwa hidupnya bersama suaminya itu sangat bahagia. Tidak ada masalah. Bercerita tentang yang baik-baik saja. Meta, saya pikir, adalah termasuk salah satu dari sedikit orang-orang "aneh" yang pernah saya jumpai.
Dua bulan yang lalu, saat terakhir saya bersama Frans menemuinya, Meta selalu tersenyum di depan kami. Saya tahu, senyumnya Meta adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak jelas ia sedang menahan sakit. Karena kankernya itu.
Melihat Meta, saya kerap merasa kasihan. Meski hidupnya ada dalam banyak tekanan dan sedang sakit parah, tetapi ia selalu berhasil "mengelabuhi" orang. Di depan banyak orang, Meta tampak seperti tidak sedang sakit. Kepada Frans, kakaknya, ia mengatakan ia tak ingin anak-anaknya, orang tuanya, dan orang-orang yang dicintainya menjadi sedih. Seumpama sebuah sinetron, Meta itu adalah pemain watak sangat ulung saya kira..lihai "memerankan" peran berpura-pura.