Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Rahman

TERVERIFIKASI

profesional

Dilema Pers di Tengah Konstelasi, Partisan atau Idealis?

Diperbarui: 18 Agustus 2018   15:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto ilustrasi; portalsatu.com

Pers dan produksi pers kembali disorot dan ramai diperbincangkan. Ini terjadi setelah Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DIY mengeluarkan fatwa haram menonton tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC).

PWNU DIY menilai acara ILC  sarat provokasi dan mencemarkan nama baik.

Fatwa haram itu dikeluarkan PWNU DIY hanya beberapa hari usai Mahfud MD, sosok yang tak jadi mendampingi Presiden Joko Widodo sebagai calon wakil presiden, berkisah mengenai situasi yang terjadi hingga dirinya harus terhempas di acara Indonesia Lawyers Club.

Namun, Karni Ilyas, Direktur Pemberitaan atau Pemimpin Redaksi News and Sports TvOne yang juga pembawa acara ILC, membantah pihaknya melakukan provokasi dan pencemaran nama baik seperti yang dituduhkan.

Fatwa haram atas tayangan ILC itu terus menjadi bahan perbincangan.

Pelbagai pendapat, yang pro dan yang kontra, bertebaran ditulis di kolom-kolom komentar. Mereka menyampaikan rupa-rupa dalil dan alasan yang (tentunya) sesuai dengan format dan selera masing-masing.

Seperti biasanya.

Namun, tulisan saya ini tidak hendak bicara soal fatwa itu. Saya putuskan membiarkan orang-orang yang berkompeten untuk menelaahnya. Dan memutuskannya.

Jadi, saya akan membahas hal yang lain (tetapi masih berkaitan dengan keributan fatwa itu); tentang pers dan produk pers yang independent. Pers yang menjadi pihak ketiga, yang tidak memprovokasi. Tentang dilema pers.

Di tengah tarik-menarik kepentingan politik, pers Indonesia memang kerap menghadapi dilema yang senantiasa  sama. Tidak pers A tidak juga pers B. Kondisi ini terjadi bukan tanpa alasan. Di tahun politik, di tengah-tengah kompetisi, pers memang diketahui memiliki posisi amat sangat strategis.

Banyak pemilik memercayai anggapan sekaligus kesimpulan bahwa televisi masih dinilai menjadi alat sangat sangat efektif memengaruhi pilihan politik. Ini tidak salah memang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline