Linimasa media sosial kembali riuh dua hari belakangan, setelah Kemenag merilis rekomendasi penceramah. Daftar tersebut pun memicu pro dan kontra.
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, daftar itu dibuat untuk memenuhi permintaan masyarakat yang selama ini kerap meminta rekomendasi penceramah kepada pihaknya. PBNU juga seia sekata dan menyebutkan bahwa 200 penceramah rekomendasi Kemenag merupakan referensi.
Beragam tanggapan muncul. Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid dan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon memberikan kritik terhadap Kementerian Agama (Kemenag). Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan daftar 200 nama penceramah yang dikeluarkan Kemenag itu hanya bersifat rekomendasi.
Saya melongok beberapa portal opini dan mengamati alasan yang disampaikan oleh pihak yang pro rekomendasi. Saya juga membaca alasan dari pihak yang kontra. Mereka mempertanyakan, mengapa rekomendasi penceramah dikeluarkan? Apakah penceramah yang tidak direkomendasi Kemenag berpotensi mengancam keselamatan bangsa?
Di alam demokrasi, keberagaman tulisan, pikiran, dan pendapat adalah sah-sah saja. Sayangnya, perbedaan pikiran dan pendapat kerap membuat cemas. Alih-alih mendapatkan pencerahan dan kesimpulan, justru sebaliknya, perbedaan pendapat sering berakhir dengan saling ledek dan cemooh berhari-hari. Mengapa kita tidak lekas mengambil pelajaran dari pengalaman? Mengapa kita terus saling mengolok-olok? Kita semakin tidak mengindahkan etika dan keadaban.
Rasa benci, yang diciptakan dari olok-olok di Linimasa media sosial, bahkan telah menutup hampir seluruh akal dan logika. Gara-gara rekomendasi kemenag ini, bahkan ada sebagian teman saya yang mempertanyakan klasifikasi komitmen kebangsaan. Malah, kemarin, saya agak kaget membaca berita, gara-gara rekomendasi ini, surga dan neraka pun harus disebut-sebut.
Sungguh, ini adalah salah satu teror yang mencemaskan.
Di Kudus, kota kelahiran saya, banyak sekali pesantren dengan Kiai dan Ustaz-Ustaz nya, yang saya yakin, mereka semua mungkin tidak ada di kelompok 200 itu. Saya lalu mencoba iseng memasukkan nama-nama pengasuh pesantren terkenal dan membandingkan dengan daftar rekomendasi itu. Saya klik alat "search by" dan sedetik kemudian saya malah mendapatkan pesan "no matches were found".
Padahal, di kota santri ini, menurut informasi seputarkudus.com, tercatat ada sebanyak 86 pondok pesantren di Kabupaten Kudus, yang tersebar di sembilan kecamatan. Jadi, jika acuan kita hanya rekomendasi ala Kemenag itu saja, muncul pertanyaan; apakah kita lantas meragukan kualitas Ustaz-Ustaz di Kudus? Jadi, benar apa kata Mahfud MD, mari kita buat mudah saja urusan daftar itu.
Saya meyakini, cerita panjang perkara rekomendasi penceramah ala Kemenag itu mungkin tidak bakal kelar diulas dan dituntaskan meski seratus lebih artikel ditulis. Di negeri ini, negeri dimana empat dari tujuh orang aktif di media sosial, mustahil kita bisa memeroleh kesimpulan di media sosial. Dengan empat dari tujuh rakyatnya aktif di media sosial, pikiran dan persepsi banyak orang akan lahir dan terbentuk di sana.
Saya malah pernah mengatakan kepada salah satu teman saya bahwa orang (saat ini) mungkin lebih memercayai berita yang disebar temannya di grup-grup Whatshap daripada isi sebuah buku.