Siang itu, kendaraan saya melaju perlahan ke kawasan kampus UGM di Bulaksumur. Sebuah tempat yang memiliki banyak kenangan ketika sempat menuntut ilmu di sini beberapa dekade yang lalu, di abad lampau.
Setelah melewati bundaran UGM, kami sampai di Blok D 6-7 kompleks dosen. Kini dua rumah itu telah berubah menjadi sebuah museum. Namanya Museum UGM seperti tampak pada huruf huruf besar warna kuning emas yang ada di depan kedua rumah itu. Di atasnya terpampang gagah logo UGM berbentuk Surya Majapahit dengan enam kelopak padma.
Masuk ke beranda, dua orang gadis menyambut dengan ramah sambil mengucapkan selamat datang di museum ini. Tugas pertama adalah mengisi buku tamu elektronik lengkap dengan nama, jumlah pengunjung.
Suasana museum kebetulan sepi karena tidak ada pengunjung lain. Di beranda ini terpampang lukisan sketsa gedung pusat UGM dengan warna coklat kekuningan.
Satu demi satu ruangan mulai kami jelajahi secara acak. Di ruangan pertama saya sempat membaca kisah tentang kiprah UGM dalam membangun tradisi akademik.
Pada papan pameran pertama ada cerita tentang partisipasi di kancah internasional. Pada 1954 , masih dengan menyandang nama UNGM, UGM ikut serta dalam Pacific Science Congress di Filipina.
Pada papan di sebelahnya ada informasi tentang pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada tokoh penting hingga tahun 1960 yaitu kepada Bung Karno,Hatta, aku Hajar Dewantara dan Raja Bhumibol Adulyadej.
Namun yang paling menarik di ruangan ini adalah cuplikan kata kata dari Prof Poerbatjaraka tentang Polemik Kebudayaan: "Janganlah mabuk kebudayaan kuno, tetapi jangan mabuk kebaratan juga. Ketahuilah dua-duanya. Pilihlah mana yang baik dari keduanya itu, supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam hari yang akan datang."