Langkah Maruarar Sirait untuk menawarkan hadiah Rp 8 miliar demi menemukan Harun Masiku, buron kasus korupsi yang telah menghilang sejak 2020, menarik perhatian publik. Selain unik, langkah ini juga menjadi kritik terhadap lemahnya penegakan hukum, khususnya dalam kasus korupsi di Indonesia. Tapi, apakah cara ini benar-benar efektif? Atau justru menunjukkan betapa rapuhnya sistem hukum kita?
Harun Masiku: Simbol Masalah Lama
Harun Masiku bukan sekadar buronan biasa. Kasusnya mencuat saat ia diduga terlibat dalam suap pergantian antarwaktu anggota DPR dari PDIP. Meski sudah dinyatakan buron sejak Januari 2020, keberadaannya tetap misterius hingga hari ini. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana seorang tokoh dalam kasus besar bisa lolos dari radar penegak hukum selama bertahun-tahun?
Kasus ini menjadi semacam simbol bagaimana sistem penegakan hukum kita sering kali "melempem" di depan kasus-kasus besar yang melibatkan tokoh politik. Kritik terhadap aparat hukum, termasuk KPK, pun tak terhindarkan. Apalagi, KPK yang dulunya dianggap sebagai lembaga paling bersih kini kerap diterpa isu pelemahan institusi.
Sayembara Maruarar: Langkah Positif atau Sindiran?
Sayembara Rp 8 miliar yang digagas Maruarar Sirait jelas mencuri perhatian. Selain menunjukkan komitmen pribadi dalam mendukung penegakan hukum, ini juga bisa dibaca sebagai sindiran keras terhadap sistem yang selama ini gagal menemukan Harun Masiku. Dalam sebuah pernyataan, Maruarar bahkan menanyakan, "Kenapa sih Harun Masiku bisa menghilang?
Siapa yang menghilangkan?"
Langkah ini punya dua sisi. Di satu sisi, ini bisa menjadi dorongan moral, baik untuk masyarakat maupun aparat hukum. Namun, di sisi lain, langkah seperti ini juga membuka ruang diskusi tentang kenapa aparat negara harus dibantu dengan inisiatif seperti ini. Haruskah kita menggantungkan harapan pada sayembara, alih-alih memperbaiki sistem penegakan hukum?
Korupsi di Indonesia: Sebuah Fenomena Sistemik
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi yang masih tinggi. Data dari Transparency International menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan, skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia masih jauh dari ideal. Korupsi telah menjadi persoalan sistemik yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pejabat daerah hingga elite nasional.
Kasus seperti Harun Masiku hanyalah puncak gunung es. Di baliknya, ada banyak kasus lain yang menunjukkan pola serupa: buronan sulit ditangkap, proses hukum yang berlarut-larut, hingga hukuman yang dianggap terlalu ringan. Semua ini membuat publik semakin skeptis terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.