Di samping TransJakarta atau busway, kereta komuter atau yang lebih popular kita sebut sebagai KRL merupakan media transportasi yang paling favorit bagi sebagian besar masyarakat golongan bawah dan juga menengah yang harus bolak-balik dari tempat kediaman di seantero Jabodetabek menuju ke tempat kerja atau kegiatan lainnya. Bahkan di akhir pekan, KRL juga tetap ramai digunakan oleh masyarakat untuk berekreasi ke tempat wisata atau sejenak berkunjung ke sanak saudara.
Hal ini dikarenakan karena jaringannya yang sudah lumayan luas dan juga karena tarifnya yang sangat bersahabat di kantong. Dengan kendaraan apalagi kita dapat pergi dari Bekasi hingga Rangkasbitung dengan ongkos hanya sekitar 11 Ribu, atau Jakarta hingga Bogor dengan ongkos sekitar 6.000 saja. Sementara untuk jarak dekat hingga sekitar 25 kilometer, harga tiket hanya 3,000 saja?
Di samping itu tingkat pelayanan KRL pada saat ini pun sudah termasuk baik dengan kereta dan stasiun yang bersih, gerbong yang sebagian besar sejuk berAC, serta fasilitas di stasiun yang cukup baik dan lengkap. Apalagi kalau dibandingkan dengan situasi zaman jahiliah sebelum era Pak Ignatius Jonan ketika penumpang masih harus berjuang untuk naik ke gerbong dan bahkan sampai naik ke atap kereta.
Akan tetapi dalam waktu sekitar beberapa bulan terakhir ini, terdengar wacana untuk penyesuaian tarif yang walaupun namanya penyesuaian, tetap saja kenaikan tarif bagi para penggunanya.
Bagi yang penghasilannya pas-pasan, kenaikan ini tetap saja memberatkan mengingat situasi perekonomian yang sekarang semakin sulit dengan kenaikan harga-harga barang dan juga ongkos transportasi lainnya seperti Ojol, dan lain-lain.
Sebenarnya masyarakat juga mencoba memaklumi kebijakan atau rencana penyesuaian tarif ini karena pengelola KRL juga dihadapi dengan kenaikan biaya operasional dan adanya tekanan dari pemerintah untuk mengurangi subsidi.
Namun kebijakan kenaikan tarif sebenarnya bertentangan dengan kebijakan yang lebih tinggi, yaitu mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi publik. Ada kemungkinan sebagian akan kembali beralih menggunakan kendaraan pribadi seperti sepeda motor yang dianggap lebih ekonomis.
Di samping itu, juga ada wacana untuk penyesuaian tarif berjenjang sesuai kemampuan masyarakat pengguna berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan). Menurut pendapat saya, kebijakan ini sangat absurd walau terdengar sangat ideal dan adil.