Plaza de Armas di Santiago de Chile memiliki fungsi dan peran yang mirip dengan alun-alun di kota-kota di Jawa. Kalau di Bogota ada Plaza de Bolivar dengan Basilica Metropolitana de Bogota Catedral Primada de Colombia dan di Ciudad de Mexico ada Plaza de La Constitucion atau Zocalo dengan Catedral Metropolitananya, maka di Santiago pun juga ada Catedral Metropolitana de Santiago.
Katedral ini berada di pojok barat laut Plaza de Armas tidak jauh dari Correo Central dan di antara kedua gedung ini, ada sebuah bangunan modern yang ditutupi jendela dari kaca, mirip dengan kebanyakan gedung pencakar langit di Jakarta. Uniknya di kaca ini kita bisa melihat bayangan bangunan-bangunan tua di sekitarnya.
Rasa penasaran membawa diri ini memasuki pintu katedral. Suasana magis dan religius langsung menyeruak. Lilin-lilin dan penerangan yang temaram dengan latar tiang-tiang cantik serta langit-langit bergambarkan lukisan-lukisan surgawi berputar-putar seakan mengucapkan selamat datang. Sejenak terduduk di salah satu deretan kursi kayu warna coklat dua yang antik, sambil memperhatikan orang-orang yang datang. Ada yang berdoa dengan khusuk sambil berlutut dan ada juga yang hanya melihat-lihat sambil merekam foto atau video.
Kembali ke Plaza de Armas, perjalanan dilanjut ke arah selatan memasuki sebuah pedestrian Street, jalan yang dibuat khusus untuk pejalan kaki bernama Paseo Ahumada. Sebuah jalan yang sangat ramai dan hidup dengan segala kegiatannya. Konon, jalan ini merupakan salah satu kawasan komersial tertua di Santiago dan sudah ada sejak abad ke 16 ketika kota ini pertama kali didirikan.
Disini deretan toko, cafe dan restoran ada di kedua sisi jalan sementara di atasnya merupakan gedung perkantoran. Selain itu banyak juga kios-kios yang ada di tengah jalan menjual berbagai makanan minuman dan juga suvenir. Bahkan jalan ini juga dilengkapi dengan sebuah baos atau toilet umum.
Di antara keramaian ini banyak juga seniman jalanan yang mencari sesuap nasi dengan menggelar pertunjukan. Yang cukup menarik adalah seorang lelaki yang bermain musik dengan tambur di punggungnya. Menemaninya ada seorang anak lelaki berusia sekitar 10 tahun. Mereka berjalan sepanjang jalan dan kemudian berhenti sejenak serta menggelar pertunjukan singkat dan kemudian mengedarkan topi untuk mengumpulkan uang Peso.
Sambil duduk beristirahat dan menikmati es krim serta sepotong roti, saya menyaksikan semua kegiatan dan pertunjukkan ini serta orang-orang yang lalu lalang di jalan sepanjang jalan ini. Kian siang menjelang senja, suasana di sini kian ramai.