Lihat ke Halaman Asli

Taufik Uieks

TERVERIFIKASI

Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Dari Undian Berhadiah TV Hingga Tawuran Pelajar

Diperbarui: 26 Juli 2023   22:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merdeka.com

Jakarta merupakan salah satu kota besar di dunia yang saat ini memiliki berbagai macam transportasi publik seperti Trans Jakarta, MRT, LRT, LRT Jabodebek, Mikrolet, dan lain sebagainya.  Terus terang situasi dan kondisi transportasi umum di Jakarta terus membaik dalam beberapa tahun terakhir ini terutama sejak adanya MRT dan LRT dan juga kian bagusnya layanan Trans Jakarta.  Yang saya ingin ceritakan adalah pengalaman naik transportasi umum di Jakarta di masa lalu, ketika naik KRL masih berdesakkan di atap naik bus kota seperti PPD masih bergelantungan di pintu dan serunya naik Kopaja atau metro mini.  

Perkenalan saya pertama kali dengan angkutan umum di Jakarta mungkin di sekitar akhir tahun 1970-an .  Ongkos bus kala itu adalah 15 Rupiah dan kemudian naik menjadi 30 Rupiah. Kalau tidak salah pada tahun 1978 atau tahun 1979.   Uniknya pada saat itu penumpang langsung membayar kepada kondektur dan tentu saja sistem seperti ini menyebabkan pelayanan yang kurang baik kepada penumpang.  Jika pada waktu jam sepi, bus sering menunggu penumpang cukup lama alias ngetem di suatu tempat.

Dan bahkan sesanak bus kadang juga saling mendahului untuk berebut penumpang.  Karena itu ada peringatan yang cukup terkenal kala itu yaitu "Sesama Bus Kota dilarang saling Mendahului.  Selain panas, dan padat di dalam bus juga sering naik para pedagang asongan, pengamen, dan tentu saja sering kali dengan para pencopetnya. Lengkap sudah kehidupan Jakarta yang cukup keras kala naik bus kota atau Metro Mini dan Kopaja.   Kecopetan sangat sering terjadi walau saat itu belum ada penumpang yang membawa hape. 

Uniknya, pada untuk meningkatkan pendapatan perusahaan bus, pernah juga diterapkan sistem karcis, yaitu setiap penumpang akan mendapat karcis setiap kali membayar kepada kondektur.  Namun ternyata banyak kondektur yang nakal tidak memberikan karcis dan penumpang juga malas meminta karcis. 

Sebagai jalan tegah perusahaan bus kemudian mengadakan undian karcis berhadiah yang diundi sebulan sekali dengan hadiah yang menarik seperti TV.  Dengan berfungsinya karcis sebagai kupon undian berhadiah, maka penumpang pun ikut aktif meminta karcis ke kondektur.  Sayangnya sistem ini pun tidak bertahan lama, mungkin hanya beberapa bulan saja dan saya sendiri walau sempat mengumpulkan banyak karcis bus kota, tetapi tidak pernah menang undian. 

Pada saat yang bersamaan, perusahaan bus di Jakarta seperti PPD dan beberapa lainnya mulai memperkenalkan tipe bus yang disebut dengan PATAS alias cepat dan terbatas dengan harga tiket 3 kali lipat, yaitu 150 Rupiah sekali jalan. Pada saat diperkenalkan disebutkan jika bus patas ini diperuntukkan untuk penumpang yang berdasi.  Pada awalnya ide patas alias terbatas adalah jumlah penumpang maksimum sesuai dengan jumlah tempat duduk di dalam busa alias tidak ada yang berdiri.  Namun pada kenyataannya kemudian, bus patas pun mengalami Nasib yang sama seperti bus biasa , yaitu berjejal penumpang.  

Perlu diketahui di masa itu, jumlah bus sepertinya tidak sesuai dengan jumlah penumpang, sehingga di jam-jam sibuk kita sering berdesakan dan bahkan naik bus asal menempel alias pintu bus pun tidak ditutup.  Selain berbahaya, risiko kena copet pun selalu mengintai.   

Namun yang mengasyikkan adalah rute bus menjangkau sebagian besar kota Jakarta dan sistem penomoran bus biasanya menggunakan terminal bus awal seperti semua bus yang berasal dari Blok M menggunakan nomor yang berawalan 1 dan yang dari Grogol atau Kalideres kemudian menggunakan angka 2, 3 Rawa Mangun,  4 , CIlilitan dan 7 Kota. Sehingga salah satu rute bus favorit saya adalah rute 49 Yaitu Cililitan Manggarai atau 700 Cililitan Kota serta 806, Pasar Minggu Pintu Air.     Namun pada saat itu, kalau untuk menuju tujuan kita harus berganti bus, maka ongkos naik bus pun menjadi lebih mahal karena harus selalu membayar setiap naik bus.

Pada sekitar tahun 1983 atau 1984, sejalan dengan besarnya inflasi, harga tiket pun naik menjadi 100 Rupiah sekali jalan.  Wah merupakan kenaikan ongkos bus yang lumayan besar karena dalam beberapa tahun saja sudah naik dari 15 Rupiah ke 30 Rupiah, kemudian menjadi 50 Rupiah dan 100 Rupiah.   

Demikian waktu terus berlalu, bus PATAS kemudian bertambah degan adanya PATAS AC, namun situasi transportasi umum di ibukota Jakarta tidak pernah ada perbaikan. KRL yang padat dengan kereta yang kumuh serta kondisi bus kota yang tetap mengenaskan terus berlangsung hingga pergantian abad.   Karena itu bagi yang mampu tentunya akan lebih suka naik kendaraan pribadi dibandingkan dengan naik transportasi umum.  Jakarta dan sekitarnya pun makin macet dan padat merayap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline