Pagi itu, saya kembali memulai jalan-jalan santai di Yogya dengan berjalan kaki. Seperti biasa dimulai dari tempat tinggal di kawasan Taman Sari lalu menyusuri Jalan Taman terus ke utara belok kiri ke Pasar Ngasem dan kemudian belok kanan ke utara menyusuri Jalan Ngasem.
Toko sekaligus pabrik bakpia di Ngasem masih sepi dan saya melanjutkan jalan kaki terus ke utara melewati Jalan Nyai Ahmad Dahlan yang lebih tersohor dengan nama lama Jalan Gerjen. Saya masih ingat bahwa di Jalan ini dulu saya pertama kali tinggal di Yogya. Sudah lama sekali masih di abad ke XX.
Kawasan di sekitar Jalan Gerjen ini memiliki sejarah yang panjang di Yogya. Di sebelah timur ada daerah yang bernama Kauman dan merupakan markas besar Muhammadiyah, tempat kelahiran pendiri organisasi Islam Muhammadiyah. Di sebelah barat terdapat kampung Suronatan yang konon merupakan kampung abdi dalem kraton yang bertugas sebagai penasihat atau ulama dalam bidang ibadah.
Di jalan Gerjen ini terdapat banyak rumah yang masih mempertahankan bangunan lama walau Sebagian dalam kondisi yang kurang terawat. Saya bahkan masih bisa menemukan rumah tempat saya dulu pernah tinggal dan sekarang berfungsi sebagai butik atau toko pakaian. Tidak mengherankan karena kampung Gerjen sendiri sebenarnya merupakan tempat tinggal para abdi dalem yang bertugas sebagai penjahit.
Namun sekarang di tempat ini juga mulai tumbuh beberapa rumah yang dijadikan hotel atau hostel. Sebagian rumah tua memiliki arsitektur khas campuran Indis dan tradisional Jawa. Pintu dan jendelanya besar-besar dan memiliki fasad dengan hiasan gambar atau motif tertentu.
Di ujung jalan ada sebuah tembok berwarna hijau yang Digambar kabah dengan tulisan Hamka Perkasa. Apakah melambang salah satu partai politik? Mungkin saja. Dan di seberangnya tepat di persimpangan dengan Jalan Achmad Dahlan , ada papan nama jalan Nyai Ahmad Dahlan dalam Bahasa Indonesia dan aksara Jawa di bawahnya. Sayang nama jalan ini tertutup oleh tulisan yang mungkin merupakan vandalisme jalanan.