Usulan untuk menaikkan harga tiket masuk atau naik ke candi Borobudur menjadi IDR 750.000 untuk wisatawan lokal dan USD 100 untuk wisatawan asing sontak menjadi viral di berbagai media, termasuk di media sosial.
Banyak yang langsung tidak setuju dengan alasan terlalu mahal untuk Sebagian besar rakyat Indonesia dan seribu satu alasan lainnya. Di samping itu banyak juga yang setuju dengan alasan pelestarian warisan budaya yang sudah masuk dalam daftar World Heritage dan ancaman turisme massal yang bisa merusak candi serta 1002 alasan lainnya.
Sekilas kedua pihak sama-sama benar dengan alasan dan pembenaran nya masing-masing. Debat dan diskusi untuk tujuan membenarkan pendapat dan opini masing-masing tampaknya akan sia-sia.
Karena itu dalam tulisan ini, saya bermaksud memberikan pandangan ketiga yang mungkin bisa membuat suasana sedikit adem dan damai. Pandangan ketiga ini dengan mengambil studi kasus Angkor, nun jauh di negeri bernama Kamboja.
Lah, mengapa kita harus mengambil Angkor sebagai bahan perbandingan, bukankah Borobudur sama sekali berbeda dengan Angkor? Mungkin sebagian pembaca akan langsung bertanya setengah protes.
Mau bertanya dan protes tentu saja itu hak kita masing-masing, bahkan mau suka atau tidak suka atau mau tidak membaca artikel ini pun merupakan hak kita masing-masing.
Yang ingin saya kedepankan adalah kebebasan penulis untuk mengemukakan pendapat dan usulan selama pendapat itu tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada dan demi kebaikan bersama. Mengapa tidak.?
Sebelum kita mulai membandingkan Borobudur dengan Angkor, ada baiknya kita telaah sekilas mengenai Bodrobudur sebagai salah satu Destinasi Super Prioritas dan juga tujuan wisata yang menjadi ikon Indonesia.
Borobudur adalah peninggalan budaya yang sudah menjadi Warisan Dunia dan masuk dalam UNESCO World Heritage sejak 1991 bersamaan dengan Kompleks Candi Prambanan.