Lihat ke Halaman Asli

Taufik Uieks

TERVERIFIKASI

Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Seri Nostalgia: Buku Besar Imigrasi Hongkong

Diperbarui: 8 Juli 2019   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Seri Nostalgia ini merupakan serangkaian tulisan yang mengisahkan perjalanan ke berbagai tempat yang terjadi pada masa yang telah lama berlalu.

Kisah-kisah yang sayang untuk dilupakan begitu saja dan menjadi dasar untuk terus berkelana, menapak tempat-tempat menarik di berbagai negri di pelosok dunia.

Hongkong merupakan tempat impian bagi kebanyakan anak-anak Indonesia di tahun 1970an. Begitu pula dengan diri saya. Maklum pada saat iru sangat populer film-film mandarin yang berasal dari Hongkong dan Taiwan.

Bahkan ada sebuah sebutan yang mungkin kini sudah jarang diketahui generasi milenial, yaitu 'Dari Hongkong' untuk menyebut sesuatu yang wah atau bahkan hebat dan aneh.

Siapa sangka, kesempatan untuk bertandang ke Hongkong pun menjadi kenyataan pada pertengahan 1986. Tujuan utamanya adalah pelatihan di kantor pusat selama dua minggu. Perjalan perdana ini kemudian akan terus dikuti dengan rentetan perjalanan dengan jangka waktu berbeda-beda. Dari sekedar transit, 1 hari, 2 hari , hingga beberapa bulan di koloni Inggrris di Tiongkok Selatan itu.

Uniknya tidak seperti saat ini, dimana pemegang paspor RI bisa berangkat ke Hongkong dan tinggal selama 30 hari tanpa visa. Pada saat itu, fasilitas tanpa visa hanya berlaku untuk kunjungan selama satu minggu.

Walhasil karena berkunjung selama dua minggu, kita harus memiliki visa Hongkong. Dan jangan kaget untuk mendapatkannya kita harus mengurusnya di Kedutaan Inggrs. Maklum pada saat itu status Hongkong masih sebagai wilayah sebrang lautan Inggris alias British Overseas Territory.

Perjalanan dimulai dari Bandara Soekarno Hatta Teminal 1 A. Pada saat itu hanya ada satu terminal di Soekarno Hatta dimana Terminal 1 A khusus penerbangan luar negri non Garuda.

Selain paspor dan visa, untuk ke luar negri pada saat itu kita harus memiliki 'Exit Permit'. Tentu saja ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi sekarang. Exit permit adalah ijin meninggalkan Indonesia yang harus dicap di paspor setiap kali berangkat. Konon peraturan ini merupakan peninggalan jaman Belanda.

Selain itu yang membedakan dengan saat ini adalah setiap berangkat kita harus membayar airport tax di bandara. Kalau tidak salah besarnya pada saat itu adalah 6000 Rupiah plus pajak 10 persen.  Selain airport tax yang harus dibayar juga ada fiskal sebesar 100 ribu setiap kali berangkat.

Pada saat itu airport tax memang kebanyakan harus dibayar di bandara pada saat check in. Hal yang sama pun harus dilakukan di Hongkong yaitu membayar 120 HK Dollar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline