Widyawisata atau jalan-jalan rombongan Sahabat Museum di Situs Batu Jaya belum selesai. Setelah mengenal istilah pagar langkan, torana, kumuda, dan stupika di Candi Blandongan, kuliah lapangan pindah tempat ke Candi Jiwa.
Di sini kita semua bisa mendekat ke Candi dan melihat secara langsung teksturnya yang terbuat dari bata merah. Kaki candi lebih sederhana dibandingkan Candi Blandongan. Di sini yang ada hanya pelipit bulat yang disebut kumuda tanpa pelipit yang bergerigi dan juga tidak ada tangga untuk naik ke pelataran candi.
"Kemungkinan besar penziarah melakukan pradaksina di sekeliling candi yang bagian atas nya berbentuk stupa. Jadi tempat yang kita injak ini sesungguhnya adalah pradaksinapatha nya", komentar Pak Dwi sambil menghembuskan asap rokoknya. Di sini, kita juga belajar membedakan mana bata yang asli dan mana bata yang baru dipasang sewaktu restorasi.
Matahari sudah mulai tergelincir dari ufuk, namun acara makan siang memang dijadwalkan sedikit mundur sehingga kita harus menggelar tikar dulu di rerumputan halaman candi di dekat sebuah pohon yang tidak terlalu besar sambil minum aqua dingin yang segar.
"Ini memang pohon Bodhi", pak Kaisin menjelaskan ketika banyak yang bertanya. Diterangkan juga bahwa Pak Kaisin sendiri yang menanam pohon ini beberapa tahun yang lalu dan pohonnya merupkan hadiah dari Bantei, alias pemuka agama Buddha yang kebetulan berkunjung waktu itu.
Sambil duduk di tikar, Pak Dwi melanjutkan kuliah. Kali ini lengkap dengan alat peraga berupa sketsa gambar stupa pada 'white board". Dengan jelas digambarkan perkiraan bentuk stupa yang dulu ada di Candi Jiwa ini. Dan juga kita dapat mengenal nama-nama bagian stupa yang tadinya cuma sempat disebut sambil dibayangkan saja.
Dengan jelas kita juga bisa melihat bagian dasar stupa berbentuk bujur sangkar yang dinamakan teras. Setelah itu bagian utama stupa yang berbentuk bulat seperti lonceng atau bentuk setengah bola yang dinamakan Andha. Andha ini konon melambangkan keabadian.
Sedangkan di atas Andha ada bagian yang disebut yasti dan berbentuk tiang atau tongkat meruncing keatas. Yasti ini merupakan simbol axis mundi atau poros bumi yang menembus andha di mana dunia dianggap berputar mengelilingnya. Sedangkan bagian paling atas disebut sebagai catra Catra itu berbentuk payung yang menaungi stupa.
"Lalu kenapa dinamakan Candi Jiwa?", tiba-tiba saja Pak Kaisin menambahkan. Kemudian dengan lancar diceritakan bahwa asal mula penamaan Candi Jiwa berasal dari masa tempat ini masih berupa undukan atau unur yang berbentuk bukit sebelum ekskavasi dan pemugaran.
Masyarakat sering mengembala ternak di kawasan ini. Jika sedang banjir, maka ternak berupa kambing akan ditambatkan di unur ini. Sayang sekali setiap kali diinapkan selalu meminta korban jiwa sang kambing. "Sore ada dua besok pagi tinggal satu", tambah Pak Kaisin. Karena itulah selanjutnya Unur ini dinamakan Unur Jiwa dan setelah diekskavasi dan dipugar menjadi Candi Jiwa.
Misteri Candi Jiwa dan keangkerannya tidak berhenti disini saja. Pada saat pemugaran candi tahun 1996 banyak sekali masyarakat yang datang karena mendengan banyak batu yang bertuah. Namun setelah beberapa hari kemudian masyarakat yang mengambil batu bata tersebut datang kembali untuk mengembalikannya. "Menurut mereka ada orang berjubah putih menunggang kuda yang meminta batu tersebut dikembalikan ke tempat asalnya", tambah Pak Kaisin.