Jepang selama ini terkenal sebagai salah satu negri yang terkenal homogen baik dari segi etnis, bahasa, budaya, dan juga bahkan agama. Dan paradigma ini kemudian terbukti kalau kita bepergian ke banyak kota-kota besar di seantero Jepang, baik dari Sapporo , sampai dengan Tokyo, Osaka, Nagoya, dan juga Kyoto serta Hiroshima.
Namun, pandangan kita terhadap Jepang mungkin agak sedikit berubah setelah menjejakan kaki di Okinawa, kepulauan yang letaknya paling selatan di bumi matahari terbit ini. Di Okinawa ini, kita bisa melihat Jepang yang sedikit berbeda.
Bandara Naha, sebagaimana kebanyakan bandara di kota-kota besar di Jepang juga dilengkapi dengan moda transportasi massal berbasis rel. Di Naha, saat ini hanya ada satu jalur monorail yang terdiri dari 15 stasiun dan dinamakan Yui Rail. Saya membeli tiket yang berlaku selama 48 jam dengan harga 1200 yen. Jauh lebih ekonomis dibandingkan tiket sekali jalan yang dimulai sekitar 230 Yen dan bertambah sesuai jarak.
Lokasi kepulauan Okinawa yang disebut juga Kepulauan Ryukyu atau dalam Bahasa Cina disebut Nansei memang jauh kebih dekat ke Taiwan atau pun daratan Cina dibandingkan dengan pulau-pulau utama di Jepang. Pada perjalanan siang di bus wisata menuju Gangala Valley, barulah saya tahu bahwa sebenarnya Okinawa baru masuk menjadi wilayah Jepang pada 1879. Sebelumnya Ryukyu merupakan suatu kerajaan tersendiri yang bahkan lebih dekat ke dinasti Ming dan Ching di China.
“Okinawa juga mempunyai bahasa sendiri”, demikian jelas pemandu wisata sambil menunjukan sebuah kartun bertuliskan “Nife de biru” lengkap dengan artinya “Thank you”. Yah inilah dia kata dalam bahasa Okinawa atau Uchināguchi dan bukan arigato kata dalam bahasa Jepang untuk mengucapkan terimakasih.
Selama dalam perjalanan menuju keluar kota Naha itu dijelaskan juga bahwa di Okinawa tidak terdapat rumah yang terbuat dari kayu, tentunya kecuali istana dan puri peninggalan kerajaan jaman baheula seperti Shurijo Atau Shuri Castle yang menjadi istana tempat kediamana raja-raja Ryukyu.
Alasan utamanya adalah, pada akhir perang dunia II, hampir semua bangunan di Okinawa hancur rata luluh lantak, dan pemerintahan militer amerka yang berkuasa kemudian membangun pangkalan militernya menggunakan bahan beton . Semua bangunan di Okinawa kemudian harus dibuat dari beton sebagai jawaban atas cuaca buruk dan angin puting beliung yang menghantam kepulauan ini beberapa kali setiap tahunnya.
Diceritakan pula bahas sejak kekalahan Jepang pada perang dunia kedua, Okinawa berada dalam kekuasaan Amerika dan baru diserahkan kembali ke Jepang pada 1972. Akibatnya pengaruh Amerika masih terasa hingga saat ini. Termasuk masih adanya pangkalan Amerika di prefektur paling selatan Jepang ini. Bahkan ketika berjalan-jalan di Kokusaidori atau Jalan Internasional yang merupakan jalan utama di kota Naha yang membentang sepanjang sekitar 2 kilometer di pusat kota, semua tiang listrik , pagar, dan bahkan kursi-kursi di tepi jalan memang terbuat dari beton .
Di malam hari, pemandangan kota Naha dapat dinikmati sepanjang perjalanan dengan Monorail ke stasiun Makashi. Turun disini dan wisata dilanjutkan dengan berjalan kaki di Kokusai Dori. Ini adalah jantung dan sekaligus pusat kehidupan malam kota Naha. Sesuai dengan nama Kousaidori, atmosfer mancanegara sangat dominan. Berderet banyak toko, cafe, restoran, hotel dan juga tempat-tempat hiburan, sangat cocok untuk belanja sekalian cuci mata.
Pada umumnya , penduduk lokal Okinawa memiliki postur tubuh yang rata-rata lebih kecil dengan warna kulit yang lebih gelap dibandingkan kebanyakan orang Jepang. Dan secara umum mereka juga memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang lebih baik, mungkin karena lebih seperempat abad di bawah kekuasaan Amerika.
Di Naha Tourist Infomation Centre, pegawai yang bertugas malam itu, lelaki berusia lima puluhan, berkulit agak gelap, berbicara dengan bahasa Inggris dialek Amerika yang nyaris sempurna. Dia bercerita banyak tentang Okinawa. Baik mengenai tempat-tempat wisata budaya, pantai, kuliner dan juga hal-hal yang unik di Okinawa. Pria ini juga memberikan sSebuah leaflet berjudul “Okinawa-Welcome Guide to Muslim Visitor” .