Bus rombongan Sahabat Museum harus beberapa kali maju mundur untuk bisa masuk ke jalan sempit yang menuju ke Polsek Palmerah. Bahkan sebuah portal juga harus diangkat tinggi-tinggi agar tidak menyentuh atap bus. Atau dengan kata lain seluruh penumpang di dalam bus harus menunduk supaya tidak kena portal. He he. Ini adalah destinasi terakhir jalan-jalan kita yang bertema “Tetirah Rumah Tuan Besar”. Tujuannya adalah rumah atau villa peristirahatan milik Andries Hartsinck. Selepas jalan tadi, bus sampai di tempat parkir yang lumayan luas. Dan di hadapan, kira-kira 150 meter di depan, terpampang sebuah pemandangan yang menakjubkan.
Sebuah mansion atau rumah besar berlantai dua yang megah. Tampak pilar-pilar raksasa menopang atap dan bagian muka rumah gedung ini. Satu, dua, tiga, empat : saya menghitung jumlah pilar yang dicat warna kuning muda. Pagar warna coklat tua menghubungkan bagian bawah pilar-pilar tadi. Sementara jendela-jendela besar dari kayu yang sedang terbuka juga menghiasi seluruh bagian muka lantai dua. Di depannya berkibar dengan gagah sang dwi warna. Maklum rumah ini sekarang berfungsing sebagai kantor polisi di kawasan Pal Merah.
Terbuat dari seng, atapnya, terlihat mengikuti pola atap tradisional Jawa yang yang bersusun dua dan berbentul limas datar. Lekukan besi tempa yang memberi kesan perkasa menyangga atap ini. Singkatnya rumah ini memadukan aristektur Belanda dan Hindia. Langit-langitnya sangat tinggi untuk memberikan sirkulasi udara yang baik di alam tropis.
Kami masuk ke dalam beranda. Seorang polisi siap menyambut dan menjadi pemandu selama kunjungan di rumah ini. Rumah ini milik seorang tuan tanah yang juga salah seorang petinggi VOC. Konon beliau pertama kali menjejakkan kaki di Batavia pada 1774 sebagai akuntan. Karir kemudian membawanya ke jantung pulau Jawa sebagai residen di Surakarta, Pekalongan dan Rembang sebelum kemudian kembali ke Batavia. Rumah peristirahatan ini dibangun di tepi kali Grogol pada sekitar tahun 1790 an dan hingga lebih dari dua abad tetap kokoh walau sekilas kurang terawat dimakan usia.
“Pelayanan Pembuatan SKCK dan Perizinan”, demikian terpampang di beranda. Di dinding juga ada poster kunjungan Kapolres Mtero Jakarta Barat Kombes Pol Roycke Harry Langie yang akan memberikan pengarahan kepada seluruh anggota Polsek Palmerah. Selain sebuah cermin, saya juga memperhatikan lantai beranda yang terbuat dari ubin dengan pola dekoratif yang unik dan syahdan sebagian besar masih asli.
Tidak jauh dari poster, sebuah pigura tergantung di dinding dengan judul “Perhatian” isinya ternyata Surat Keputusan Gubernur No CB. II/1/12/72 tertanggal 10 Januari 1972 yang menyatakan bahwa gedung ini dilindungi undang-undang monumen stbl 1931 no 238 sehingga segala tindakan berupa pembongkaran, perubahan, pemindahan terhadap bangunan ini hanya dapat dilaksanakan dengan seijin gubernur.
Terasa begitu nyaman berada di beranda gedung ini sementara hujan rintik-rintik mulai membasahi kota Jakarta. Sempat juga dilihat bahwa salah satu pilar mengalami sedikit retak dan cat yang terkelupas. Memang perlu dana dan perhatian yang lebih untuk merawat gedung tua yang usianya sudah ratusan tahun ini.
Sementara di bagian dalam digunakan untuk perkantoran. Bapak polisi mengajak kami untuk melihat lantai atas gedung. Tangganya ada di samping gedung dan cukup sempit. Namun begitu sampai di lantai atas kita kembali terkagum-kagum akan kemegahannya dan sekaligus sedikit prihatin dengan kondisi gedung ini.
Lantai dua terbuat dari kayu jati dengan langit-langit yang tinggi yang juga terbuat dari kayu yang dicat warna putih. Dibiarkan kosong melompong, hanya ada sebuah kursi panjang dari kayu yang dibiarkan berdebu. Beberapa tumpukan barang-barang yang tidak terpakai juga dibiarkan saja ada di sudut ruanagn. Di pojok-pojok langit-langit, juga terlihat sarang laba-laba yang secara tidak langsung menceritakan bahwa lantai dua ini sudah lama tidak digunakan.
Sebagaimana gedung-gedungtua jaman kolonial, baik pintu maupun jendela semuanya berukuran raksasa. Dari salah satu jendela besar yang terbukal ebar, kita bahkan bisa bergaya dan diambil gambarnya dari halaman parkir.
Sambil memandang ke halaman yang luas, dengan deretan kendaraan yang di parkir, dan juga langit kota Jakarta yang berawan, saya termenung bahwa sampai kapan rumah Meneer Hartsinck ini akan bertahan. Renovasi sangat diperlukan untuk melestarikan warisan budaya yang merupakan fragmen dari rangkaian sejarah kota Jakarta .