Enoden Electric Railway yang bergerak perlahan menyusuri pantai selatan kawasan Kanagawa yang berhadapan langsung dengan Samudra Pasifik. Kereta ini memang tidak seperti umumnya kereta api di Jepang yang bergerak cepat. Makum, karena lebih ditujukan sebagai kereta api wisata di samping sebagai alat transportasi.
Dari Hasse, kereta bergerak melewati Stasiun Gokurakoji dan kemudian Inamuragasaki. Ketika mendekati Stasiun Kamakurakoko-mae, pemandangan Samudera Pasifik dapat dinikmati dengan leluasa melalui jendela kereta yang lumayan besar. Kereta terus melaju, dan akhinya sampai di Stasiun Enoshima.
Di peron terdapat maket stasiun lengkap dengan rel serta kendaraan dan bahkan pantai. Pulau Enoshima dapat ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalan khusus pedestrian. Asyiknya suasana pantai sangat terasa dengan adanya toko-toko kecil yang memajang peralatan berenang.
Sekitar sepuluh menit berjalan, kita sampai di pintu gerbang jembatan menuju ke Pulau Enoshima. Sebuah papan informasi bercerita tentang tempat menarik dan keistimewaan yang ada di pulau ini. Dijelaskan bahwa asal kata Enoshima yang menggabungkan huruf Jepang dan Kanji dari Cina dan memiliki arti 'Pulau Pemandangan'. Dari pulau ini pula, bila cuaca cerah dapat disaksikan keindaan Gunung Fuji yang termasyur itu.
Di pulau ini, tepatnya kalau kita naik ke atas bukit yang bisa dicapai dengan mendaki ataupun bisa dengan lebih santai menggunakan eskalator, terdapat Kuil Enoshima. Kuil ini didedikasikan untuk Dewi Benzaiten yang konon merupakan dewi cinta versi Jepang. Selain itu, ada juga akuarium, gua, serta tempat bermain dan bersantai di Pantai Shonan, yang merupakan salah satu pantai paling indah di Jepang.
Untuk menuju ke gua yang bernama Iwaya Cave, kita dapat naik kapal ferry di dekat jembatan. Ongkosnya cukup ekonomis, yatu 400 yen untuk dewasa dan 200 yen untuk anal-anak. Saya sempat melihat dan mampir ke dermaga ferry yang kebetulan sedang kosong sehingga perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Pulau Enoshima.
Setelah puas melihat-lihat, di sekitar jembatan terdapat sebuah spanduk yang cukup lebar berisi informasi dan larangan bagi pengunjung pulau ini. Selain anjuran untuk merokok hanya di tempat yang ditentukan, terdapat juga larangan membuat api alias masak-memasak di pantai. Namun yang paling menggelitik adalah larangan bagi yang bertato untuk mandi di pantai. Bagi yang bertato diharapkan selalu menutupi tatonya dengan t-shirt alias dilarang buka baju.
”Cover Tattoo”, demikian bunyi anjuran di spanduk. Ketika saya tanyakan kepada seorang teman yang sudah lama tinggal di Jepang, masih ada stigma bahwa tato itu identik dengan penjahat terutama di kalangan generasi yang lebih tua, sehingga disarankan untuk tidak memamerkan tato di tempat umum.
Dalam setiap perjalanan, memang banyak yang dapat dipelajari dari suatu masyarakat, termasuk kebiasaannya. Dan ketika kembali ke Stasiun Enoshima, sempat juga dilihat sebuah vending machine yang khusus menjual rokok. Dan harga rokok di Jepang ternyata hanya berkisar dari 420 hingga 460 yen atau sekitar 54 ribu hingga 60 ribu rupiah. Dan di dekat tempat memasukkan uang kertas terdapat larangan untuk mereka yang berusia 20 tahun ke bawah untuk membeli rokok dengan tanda angka 20 dicoret merah.
Apakah harga sekitar 54 atau 60 ribu itu mahal bagi mereka? Untuk ukuran Indonesia memang mahal tetapi untuk ukuran Jepang harga tersebut termasuk murah karena sekali naik bus atau kereta api dengan jarak dekat saja sudah sekitar 200 yen. Jadi kalau dibandingkan dengan di Jakarta di mana naik busway itu 3500 rupiah maka harga rokok di Jepang itu sekitar 8 ribu rupiah saja. Jadi, harga rokok di Jepang lebih murah atau lebih mahal dari Indonesia?
Enoshima, akhir Juli 2016