Bus kami menyusuri jalan jalan kecil di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Setelah gagal mencoba masuk ke jalan yang menuju masjid karena telalu sempit dan juga kabel-kabel yang semrawut, akhir bus masuk ke halaman parkir yang ada di sebuah vihara. Dari sini, rombongan Plesiran Tempo Doeloe cukup berjalan kaki sekitar lima menit melalu jalan beton. Rumah-rumah di sini terlihat unik karena sebagian atap nya bahan lebih rendah dari kepala dan lantainya seakan-akan tenggelam di bawah jalan. Rupanya karena jalannya telah ditinggikan sementara rumahnya belum atau tidak ditinggikan.
“Yayasan Masjid Al-Alam Cilincing Jakarta Utara”, demikan papan nama yang ada di depan masjid yang beralamatkan di Jalan Rekreasi. “Bangunan masjid yang asli agak sulit dilihat secarah utuh karena sudah ditutupi oleh pendopo tambahan yang lebih tinggi”, ujar Adep seraya saya masuk ke pendopo. Lantai pendopo berlapiskan keramik warna coklat dengan tiang tiang berukir dan dicat warna emas. Atapnya berbentuk limas bersusun dua dan kalau diperhatikan mirip dengan atap bangunan utama masjid. Di pojok pendopo, ada sebuah bedug tua yang cukup besar namun dalam keadaan yang sedikit rusak karena sebagian kulitnya sudah robek.
Yang unik dari masjid ini adalah beda ketinggian permukaan lantai antara pendopo dan bangunan utama. Dari pendopo kami harus menuruni beberapa anak tangga menuju bangunan utama yang sekan-akan tenggelam karena lantainya lebih rendah sekitar satu meter.
Ruang sholat utama tidak terlalu luas, sekitar 10 x 10 meter. Sebagaimana ciri-ciri masjid-masjid tua di Indonesia, empat buah sokoguru menjadi pusat ruangan ini. Atapnya yang berbentuk limas dan tidak memiliki langit-langit tetapi langsung ditutupi dengan papan berplitur coklat. Dindingnya juga setengah tembok dan setengah kayu.
Di depan terlihat mihrab sederhana dengan dinding dari keramik putih yang berhiaskan kaligrafi bertuliskan dua kalimat syahadat. Di sebelahnya ada sebuah mimbar yang juga terbuat dari keramik warna putih. Dan yang cukup menarik adalah di salah satu sisi masjid terletak sebuah kayu berukir yang bertuliskan “Wasiat Sunan Gunung Jati” . Di bawahnya tertulis dalam aksara hanacaraka dan Latin “Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin” dengan terjemahan dalam Bahasa Indonesia “Aku Tititpkan Masjid dan Fakir Miskin”.
Setelah sholat, saya kemudian kembali ke pendopo dan menemui pengurus masjid yang sedang berbincang-bincang sambil menjelaskan sekilas mengenai sejarah masjid ini. Konon masjid ini dibangun oleh para wali pada awal abad ke 16 dan dijadikan basis untuk berjuang melawan Portugis untuk merebut kembali Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Di dinding ada sebuah penjelaskan yang juga meceritakan lintasan sejarah masjid yang menurut versi Dinas purbakala DKI Jakarta dibangun pada 22 Juni 1527, persis sama dengan HUT kota Jakarta. Wah usianya sudah hampir 500 tahun.
“Karena masjid ini dibangun di kawasan rawa di dekat laut, maka air rob selalu membuat masjid ini rentan banjir.” Demikian penjelasan pengurus masjid, Dijelaskan juga bahwa permukaan tanahnya kian tahun kian turun alias tenggelam. Untuk itu ketika direnovasi, masjid ini tetap dijaga keasliannya sedangkan untuk pendopo dibangun dengan lantai lebih tinggi sekitar satu meter.
Kami kemudian diantar ke lantas atas pendopo dan dari sini bisa menyaksikan lebih seksama atap masjid yang bersusun dua. Di bagian belakang masjid juga terlihat deretan kuburan yang sebagian konon sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun.
Berkelana ke masjid-masjid tua di kawasan Jakarta Utara ini memang mengasyikan. Lokasinya yang terpencil di sudut-sudut perkampungan nelayan. Bentuknya yang khas serta legenda yang menyertainya juga membuat kunjungan ini kian berkesan. Apalagi selain berkunjung ke masjid, kita juga dapat bonus mampir ke halaman Vihara yang dilengkapi menara berbentuk pagoda yang cukup tinggi dan megah.
Namun yang paling membekas di sanubari adalah kenyataan bahwa masjid Al-Alam ini ternyata dalam proses tenggelam secara perlahan-lahan. Kalau tidak diselamatkan dalam beberapa puluh tahun lagi, mungkin akan teggelam di bawah jalan yang kian lama kian meninggi. Kalau Buya Hamka pernah menulis sebuah buku yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, maka bisa saja suatu saat ada sebuah kisah yang berjudul “Tenggelamnya Masjid Al-Alam”?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H