Lihat ke Halaman Asli

Taufik Uieks

TERVERIFIKASI

Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Dulu dan Kini di Open Air Salon di Stone Town

Diperbarui: 29 September 2015   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selesai sejenak merenung di “Kumbukumbu Ya Historia Ya Watumwa” atau Slaves Monument, walking tour dilanjutkan, tentunya dengan jalan kaki, menjelajah lorong dan jalan-jalan sempit nan eksotis di Stone Town.

Gedung-gedung tua yang terlihat kumuh, sedikit kotor, dan tidak terawat mendominasi kota tua ini. Penduduk Zanzibar yang terdiri dari berbagai etnis sibuk lalu-lalang baik dengan berjalan kaki maupun bersepeda menjadi pemandangan yang khas. Disini waktu seakan-akan berhenti. Ini bukan abad ke 21, melainkan pertengahan abad ke 19 atau mungkin masa-masa sebelumnya.

Tujuan selanjutnya adalah “Darajani Market”, sebuah pasar tradisional yang jaraknya sekitar 5 menit berjalan kaki dari gereja sekaligus monumen peringatan tentang perbudakan di Zanzibar yang baru saja selesai dikunjungi. Bangunan pasarnya sendiri merupakan bangunan tua yang menurut Hussein pertama kali dibangun pada 1904, beratapkan seng berwarna coklat kemerahan dengan tembok warna putih yang terlihat sedikit kusam.


Namun, bangunan pasar tidak sanggup lagi menampung kegiatan ekonomi dan jual beli sehingga lapak-lapak pun meluas di jalan-jalan sekitarnya. Segalanya ada disini, baik kurma, sayur, dan juga buah-buahan tropis. Bahkan ada juga durian Zanzibar dan peci khas Zanzibar yang disebut “kofiah”.


Dari Darajani Market, langlang di Stone Town terus dilanjutkan melewati jalan dan lorong kecil yang memberikan nuansa penuh mistis. Rumah-dan bangunan tua dengan pintu Zanzibar yang khas dimana pengaruh Arab dan India saling bertaut. Masjid tua, kuil Hidhu , warung kecil dan toko souvenir baris- berbaris dalam ketidakaturan yang memberikan kejutan-kejutan yang nikmat.
Bahkan jalan di lorong sempit ini pun memberikan identitasnya dengan jelas.

 

11

 

Tutup selokan alias “manhole” yang berbentuk bulat bertuliskan “Stone Town Conservation amd Development Authority, Zanzibar”, dengan logo bergambar kubah masjid menaungi menara dan lonceng gereja menunjukan nuansa tersendiri akan sejarah Stone Town dan Zanzibar yang panjang dan berliku.

 

“Pada revolusi di tahun 1964, ribuan etnis keturunan Arab dan India ikut menjadi korban kerusuhan di kawasan ini”, cerita Hussein sambil menjelaskan sebagian sejarah kelam Zanzibar disamping pernah menjadi pasar budak. Dikisahkan bahwa pada Januari 1964 itu, sebuah revolusi yang menumbangkan Sultan Zanzibar yang terakhir dengan pemerintahan yang dikuasai oleh etnis Arab, mengubah sejarah Zanzibar sehingga etnis Shirazi yang merupakan mayoritas di Zanzibar kemudian mengambil alih pemerintahan dan kemudian bergabung dengan Tanganyika membentuk Uni Tanzania hingga saat ini. Sejarah berbagai bangsa memang penuh dengan kekejaman dimana setiap revolusi biasanya memakan korban.


Di salah satu lorong yang sempit di Stone Town, sempat juga disaksikan dua wanita muslimah dengan hijabnya yang berwarna-warni ceriah, kuning cerah dan biru muda, berjalan kaki di atas gang yang sedikit becek. Tetapi, walau terasa kumuh dan sedikit menyeramkan, perjalanan menembus lorong waktu ini terasa kian mengasyikan.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline