Lihat ke Halaman Asli

Taufik Uieks

TERVERIFIKASI

Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Uniknya Adzan Khas Masjid Niujie di Beijing

Diperbarui: 4 Agustus 2015   19:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bejing, Awal Desember 2012, cuaca dingin sangat menusuk tulang, terutama saat kami berkunjung ke Tembok Besar di Mu Tian Yu dimana suhu bisa mencapai 10 derajat di bawah nol. Namun, setelah kembali ke pusat kota cuaca agak lumayan karena masih berkisar beberapa derajat saja di atas titik beku.

Setiap mampir ke Beijing, ada satu tempat yang wajib hukumnya untuk dikunjungi. Tempat ini adalah Niujielibaishi atau Masjid Niujie yang terletak di Niujie atau kalau diterjemahan menjadi Jalan Sapi. Konon dinamakan demikian karena penduduk muslim di kawasan ini sejak lebih dari 1100 tahun lalu memang tidak makan babi seperti kebanyakan orang Cina, melainkan makan sapi.
Distrik Xuanwu, tempat masjid ini berada terus berkembang dengan pesat. Tepat di sebrang masjid, kalau dulu hanya terdapat toko-toko kecil yang menjual makanan halal kini sudah berubah menjadi sebuah super market besar yang juga khusus menjual makanan halal. Di sebelahnya juga terdapat restoran muslim.


“Niujie Muslim Super Market:” demikian nama toko yang lumayan besar dengan warna hijau yang dominan pada papan nama tersebut. Kami sempat mampir sebentar ke dalam dan melihat berjenis-jenis makanan halal baik daging, makanan kecil, maupun oleh-oleh khas Cina. Pengunjungnya pun cukup ramai berbelanja di siang yang dingin itu.

Kami segera menyebrang Niujie untuk sampai ke pintu gerbang utama masjid. Tidak ada yang berubah di masjid yang abadi ini, kecuali catnya tampak seperti lebih ceriah. Mungkin belum lama dicat ulang. Gerbang utama, tempat jual tiket, tempat wudhu, dan juga ruang sholat utama yang tetap dilapisi hamparan karpet empuk yang berwarna hijau.


Ruang utama nya banyak dihiasi kaligrafi pada tiang dan relung-relung yang didominasi warna merah dan kuning emas. Campuran budaya Cina dan Arab sangat kental sekali di dalam masjid ini. Sementara langit-langit masjid dihiasi lukisan-lukisan berpola geometris dan flora dengan kombinasi warna hijau, biru dan merah yang cantik.


Seusai sholat, saya sempat bertemu dengan kakek tua yang merupakan pengunjung setia masjid ini. Kakek berusia lebih dari delapanpuluh tahunan ini mengenakan kopiah putih dan berjanggut lebat yang juga sudah memutih semuanya. Setelan jas warna biru tua kehitaman menutupi tubuhnya yang renta, namun tetap dengan semangat yang membara. Kalau tidak salah kakek yang sama ini pernah saya jumpai di masjid ini dalam kunjungan pertama ke Beijing di musim semi tahun 1997.


Kami kemudian berkeliling untuk melhat-lihat halaman masjid. Menara kecil yang disebut gerbang bulan selalu menarik hati. Banyak juga prasasti yang bercerita tentang momen-momen bersejarah masjid yang telah berusia lebih dari 1000 tahun ini. Saya juga mengajak sobat saya untuk berkunjung ke makam Imam yang berasal Persia dan dimakamkan di halaman belakang kompleks masjid yang luasnya lebih dari 6000 meter persegi ini.


Langit kota Beijing yang mendung di awal Desember serta angin dingin yang berhembus dari utara membuat kami tidak dapat berlama-lama di luar ruangan. Ketika ingin masuk lagi menuju ke salah satu ruangan di masjid ini, tiba-tiba saja terdengan suara azdan yang merdu dari halaman dekat gerbang bulan.

Rupanya waktu ashar sudah tiba. Saya melihat seorang muazin sedang malantunkan azhan di halaman. Namun asyiknya dia tidak sendirian melainkan ditemani oleh enam orang lain yang berbaris raphi di belakangnya. Semuanya memakai sorban warna putih yang khas dan juga baju ghamis berwarna gelap yag dilapisi jacket tebal. Maklum cuaca Beijing memang sedang dingin-dinginnya.


Lantunan adzan pun usai dan ketujuh orang tadi kemudian masuk ke ruang sholat yang kemudian diikuti oleh para jamaah untuk sholat ashar berjamaah, salah satu dari ketujuh orang tadi kemudian bertindak sebagai imam sholat yang kemudian diakhiri dengan dzikir dan doa-doa.

Perjalanan saya ke Masjid Niujie memeang selalu berkesan. Dan dalam kunjuga kali ini, saya sempat menedengarkan adzan yang merdu dengan lantunan yang lebih sederhana dibandingkan azhan di tanah air, namun dalam benuk ritual yang unik. Dibawakan oleh tujuh orang dalam posisi berbaris dan tidak menggunakan pengeras suara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline