Siang itu, langit kota Berlin di pertengahan bulan Maret cukup cerah dihiasi gumpalan-gumpalan awan putih yang berarak-arak menjadi latar belakang sempurna pepohonan tanpa daun di akhir musim dingin. Suhu udara cukup bersahabat sekitar 12 derajat , dari Stasiun U Bahn Fehrberliner Platz, Saya melangkah pasti menyusuri Barstrasse, menuju Manselderstrasse, dan kemudian belok kiri ke Briennerstrasse. Suasana sangat sepi, daerah ini memang bukan kawasan pertokoan, melainkan lebih merupakan perumahan yang berada di daerah Wilmersdorf
Dan, di antara deretan rumah dan bangunan dengan halaman yang luas, tepat di perempatan dimana terdapat kuburan Friedhof Wilmersdorf, terdapat sebuah rumah ibadah yang memiliki sebuah kubah besar dengan dua buah menara cantik menawan.
Ketika mendekati bangunan ini, Saya melihat seseorang keluar dengan naik sepeda dan kemudian menghilang di tikungan jalan. Di pagar bangunan ini tertera angka 8, yang menjadi petunjuk alamatnya di Briennerstrasse no 8. Di samping pintu ada sebuah papan yang ditempeli banyak gambar dan pengumuman, di antara dalam Bahasa Jerman yang berjudul Hinweis an unsere Besucher alias Catatan bagi Pengunjung.
Dijelaskan bahwa bangunan ini adalah “Moschee der Lahore Ahamdiyya Bewegung zur Verbreitung islamischen Wissen” atau Masjid Gerakan Ahmadiyah Lahore untuk Menyebarakan Pengetahuan Islam”. Dijelaskan juga bahwa mereka tidak memiliki hubungan dengan “Ahmadiyya Muslim Jamaat” yang memiliki masjid lain di daerah Hainersdorf di Berlin.
Selain itu ada juga pengumuman bahwa masjid ini merupakan masjd yang pertama dan tertua di Jerman dan terbuka bagi semua pengunjung tanpa memandang latar belakang ras, budaya, agama, dan jenis kelamin. Di bawahnya juga ada pengumuman tentang sholat jumat yang dadakan pada pukul 1 siang. Pengunjung dipersilahkan memencet atau menelpon Ahmad dan sebuah nomor telpon genggam pun tertera di sebelah nama itu.
Saya memencet bel, namun tidak ada seorangun yang membuka pintu, akhirnya saya melanjutkan perjalanan memutar bangunan ini dan menikmati keindahannya dari berbagai sudut yang berbeda. Secara kasat mata, kita akan mengenali arstekturnya yang khas India. Kubahnya mirip dengan Masjid Badshasi di Lahore dan menaranya merupakan versi mini dari monumen cinta paling indah yang ada di Agra yaitu Taj Mahal.
Sekitar 15 menit kemudian saya kembali ke pintu pagar yang kali ini tidak terkunci, karenanya saya masuk ke halaman dan menuju ke pintu kayu berwarna abu-abu yang tertutup rapat. Di dekatnya ada sebuah plakat kuningan bertuliskan “Erbaut 1924-1927 Die Ahmadijja Andjuman Ischaat el Islam Lahore Pakistan”.
Saya kemudian masuk ke dalam ruang utama dimana hamparan kapet dan sajadah beraneka ragam membentang di lantai. Seklilas semuanya memiliki warna merah yang dominan. Dinding bangunan ini memiliki perpaduan warna coklat kemerahan dan kuning ke coklatan. Bagian dalam kubah dicat dengan warna putih.
Di sudut ruangan , saya melihat orang yang bersepeda tadi sedang asyik berbincang-bincang dengan sepasang pengunjung berusia sekitar limapuluhtahunan. Sepintas, mereka terlihat seperti orang Jerman atau orang Eropah lainnya. Mungkin termasuk wisatwan yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Ahmadiyyah.
Saya terus mengamati mereka berbincang-bincang dan akhirnya pris bersepeda itu mendekti saya dan memperkenalkan dirinya sebagai imam masjid ini yang bernama Ahmad. Saya hanya sedikit berkomentar bahwa masjid ini sangat sepi yang dijawab nahwa masjid biasanya hanya ramai pada waktu jumat siang.
Dia kemudian berkisah bahwa masjid Ahmadiyya ini merupakan masjid pertama dan tertua di Jerman, mulai dibangun pada 1924, dan diresmikan pada 1925 walaupun kubah dan menaranya baru selesai pada 1927. “Tempat ini selamat dari bumi hangus kota Belin pada Perang Dunia II, dimana sebagian besar wilayah ibu kota Jerman ini luluh lantak oleh bom sekutu pada April 1945”, tambah Ahmad lagi. Menurut cerita hanya sebagian kubah dan menara yang rusak kena bom, menara tempat muazin mengumandangkan adzan dan bangunan utama tetap utuh dan kemudian bangunan direnovasi kembali dan tetap eksis sampai mencapai usia lebih dari 90 tahunsekarang ini.
Cerita terus berlanjut dan selain terbuka untuk pengunjung umum, dalam sejarahnya, rumah ibadah ini pernah menerima tamu-tamu penting seperti Zulfiqar Ali Bhutto sewaktu menjabat menlu Pakistan, dan Perdana Mentri Malaysia Tunku Abdurahman. Apakah keduanya penganut Ahmadiyyah?
Terlepas dari pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa tempat ibadah Ahmadiyah bukan masjid, tetapi bagi saya, secara kasat mata, memang sulit untuk dibedakan.