.
“Wah kemaren saya baru saja membayar denda SGD 130”,cerita seorang teman di Singapura yang mobil barangnya kena tilang karena memotong garis tebal di sebuah jalan di kawasan Payah Lebar.Asyiknya , sama sekali tidak ada “human interaction” di dalam peristiwa ini. Tidak ada polisi yang menyetop dan menulis surat tilang, tidak ada bantah-membantah ataupun adu mulut.
“Yang ada hanyalah sebuah surat panggilan dan foto otomatis yang dengan jelas menggambarakan mobil sedang meewati garis tebal;”, tambah teman saya lagi sambl bercerita bahwa mobil tersebut sedang dikemudikan oleh salah seorang pegawainya yang kebetulan berasal dari Malaysia.
Dari soal cerita tilang dan denda, pembicaraan kami kemudian melebar ke soal kemacetan lalu lintas di Singapura.Menurutnya , Singapura saat ini juga sudah lebih macet dibandingkan beberapa tahun yang lalu walaupun tentu saja tidak ada apa-apanya dibandingkan Jakarta.Karena itu, selain menambah panjang jalan dan terus membangun infra struktur angkutan massal, pemerintah Singapura juga terkenal dengan banyak peraturan yang mengendalikan jumlah kendaraan.
Di Singapura, sudah sejak lama diberlakukan sistem tol yang disebutERP atau Electronic Road Pricing yang dihidupkan secara otomatis pada jam-jam tertentu di kawasan tertentu. Karena itu setiap kendaraan diharuskan memasang semacam kartu prabayar di dashboard yang pulsanya akan berkurang otomatis setiap kali melewati pintu gerbang ERP
Namun yang paling mengejutkan adalah cerita teman saya itu soal COE atau Certificate of Entitlement . Untuk memiliki mobil di Singapura, selain harga mobil, kita juga harus membeli COE yang melekat pada kendaraan tersebut.COE ini berlaku selama sepuluh tahun dan setelah itu, kendaraannya harus discrap alias dimusnahkan.
Mau tahu harganya.? Menurut teman saya harganya setap tahun terus meningkat dan pada saat ini sekitar 7- ribu Dollar Singapura atau hampir 700 juta Rupiah.Tentunya tergantung jenis mobil dan kegunaan mobil tersebut. Untuk taxi biasanya lebih murah. Untuk kendaraan niaga juga ada harga yang berbeda. Sementara kendaraan roda dua juga harus membayar COE yang jumahnya jauh lebih murah dibandingkan dengan kendaraan roda empat.
Asyiknya, penentuan harga COE ini juga dilakukan dengan sistem terbuka yang sangat transparan alias dengan sistem lelang. Jadi kalau Ahok membuat sistem lelang dalam rekrutmen lurah, mungkin sekedar meniru sistem COE dari Singapura.Dan untuk mengetahuinya kita dapat melihat pada surat khabar yang terbit di Singapura seperti koran Business Daiy ini.
Dalam pengembaraan saya di Singapura, ketika sedang naik taksi, pernah juga berjumpa dengan mobil “plat merah”.Namun mobil plat merah di Singapura bukan lah kendaraan dinas milik badan pemerintah.Setelah sempat bertanya, sang supir taksi bercerita kalau mobil plat merah tadi sebenarnya adalah “week end car”, alias kendaraan yang hanya boleh beroperasi di waktu akhir pekan saja.Dan tentunya COE untuk kendaraan plat merah ini jauh lebih murah dibandingkan kedaraan biasa.
Tentunya pengendalian jumlah kendaraan dengan pajak yang sangat mahal tersebut dibarengi dengan tersedianya angkutan massal yang nyaman, terjangkau, aman, dan juga tepat waktu. Di Singapura, kita melihat orang lebih suka naik MRT, bus, ataupun LRT karena jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan kendaraan tersendiri. Selain itu juga bisa lebih cepat karena tidak usah pusing cari tempat parkir.
Jadi dikemanakan kendaraan itu setelah berusia sepuluh tahun?Ada yang bilang sebagian beredar di negara tetangga.Boleh kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang!
Singapura, Desember 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H