Lihat ke Halaman Asli

Taufik Uieks

TERVERIFIKASI

Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Kalau Tinggal Bersama Orang Tua, Anak pun Harus Bayar Uang Kos: Serba-serbi New Zealand (9)

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13340372541385501101


[caption id="attachment_173745" align="alignnone" width="640" caption="Universitas di Wellington"][/caption]

Ketika sempat berjalan kaki dari Wellington Waterfront menuju gedung parlemen, Saya sempat melewati sebuah gedung yang terbuat dari kayu dan tampak sangat besar dan cantik. Gedung ini ternyata “Victoria University of Wellington Law School”, yang dalam bahasa setempat disebut“Te Kura Tatai Kure”.Gedungnya khas berlantai empat dan seluruhnya terbuat dari kayu yang dicat putih kekuningan.Wah asyik juga sekolah hukum di Wellington ini, tempatnya persis di tengah kota, dekat ke water front yang indah, stasiun kereta api Wellington dan juga Gedung Parlemen.

Ini adalah pertemuan saya yang pertama dengan sebuah Universitas di Selandia Baru. Namun ketika berkunjung ke teman saya di Christchurch, barulah saya mengetahui lebih banyak tentang sistem pendiidikan dan juga jaminan sosial di negri Kiwi ini.

“Sekolah disini benar-benar gratis dan standarnya sama baik di Wellington, Auckland, Christchurch sampai ke pelosok desa dan gunung”.Demikian ujar teman saya tadi sambil mengemudikan Honda Oddysey -nya menyusuri jalan-jalan di kota Christchurch.

Pernyataan ini keluar karena kami sedang memperbincangkan mahalnya masuk sekolah unggulan di Jakarta dan ketimpangan kualitas di antara sekolah di Jakarta, pulau Jawa dan juga luar pulau Jawa. Selain itu, kita juga membahas mahalnya masuk ke Universitas di Indonesia.

Ternyata, pendidikan dasar dan menengah merupakan kewajiban atau istilah menterengnya wajib belajar di New Zealand. Tentu saja pemerintah tidak akan memungut biaya karena semua warga negara dan penduduk tetap atau “Permanent Resident” juga dapat menikmati fasilitas sekolah gratis ini.

Jadi walaupun teman saya masih memegang paspor hijau berlambangkan Garuda, karena dia sudah menetap hampir sepuluh tahun di New Zealand dan sudah menyandang status permanent resident, maka anak-anaknya sudah disamakan dengan warga negara New Zealand dalam hal hak dan kewajiban menempuh pendidikan.

Semua hak dan kewajiban PR hampir sama dengan warga negara kecuali paspor yang berbeda. Demikian tambah teman saya. Selain anak-anak yang berhak mendapatkan pendidikan gratis, ternyata mereka juga berhak untuk mendapatkan uang pensiun.

Ketika bercerita tentang beratnya kurikulum anak-anak SMP dan SMA di Indonesia, ketika seorang anak tetap harus pintar matematika untuk naik kelas, Maka teman saya berkomentar, bahwa di New Zealand tidak ada anak yang bodoh dan tidak naik kelas. Semua anak diarahkan pendidikannya sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

“Kalau sudah berumur 18 tahun, anak disarankan untuk mandiri dan tinggal terpisah dari orang tua”, teman saya menambahkan lagi informasi tentang sistem pendidikan tinggi dan kehidupan berkeluarga diNew Zealand.Kebetulan teman saya mempunyai dua orang anak yang semua nya sedang menempuh pendidikan tinggi.Lucunya mereka masih tetap tinggal bersama orang tua mereka di rumahnya yang besar itu.

“Lalu kalau mereka berpisah dengan orang tua , siapa yang membiayai mereka? “, tanya saya.Ternyata kalau sudah mencapai usia 18 dan duduk di perguruan tinggi, setiap mahasiswa mendapat semacam tunjangan dari pemerintah yang cukup untuk membiayai hidup dan sekolah mereka.Konon tunjangan ini merupakan semcam “loan” yang nanti harus dikembalikan setelah mereka bekerja dan lulus.

Jadi seandainya mereka tetap tinggal bersama orang tua pun, disarankan mereka membayar semacam uang kos kepada orang tua. Sementara anak-anak teman saya ini tetap tinggal bersama orang tua dikarenakan orang tua merasa lebih nyaman dan dapat melihat langsung kehidupan dan pergaulan anak-anaknya . Walaupun mendapat sedikit sorotan karena praktek yang sedikit menyimpang dari kebiasaan masyarakat di New Zealand, keputusan teman saya ini dapat diterima dengan alasan “cultural reason”.

Sambil membayangkan bahwa sekolah di New Zealand tidak ada istilah tinggal kelas dan juga mahasiswa mendapatkan tunjangan dari pemerintah, saya pun tetap duduk santai dan memperhatikan pemandangan jalan-jalan yang sepi. Seandainya di Indonesia hal seperti ini dapat dilaksanakan, tentunya masyarakat akan lebih tenang dan pemerataan pendidikan akan lebih cepat tercapai . Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline