Usai deklarasi capres-cawapres, satu hal yang sangat menonjol dalam beberapa hari terakhir ini adalah pemelorotan (asal kata plorot) kredibilitas para tokoh nasional oleh diri mereka masing-masing. Entah mereka sadar atau tidak, tetapi saya sebagai bagian dari publik melihatnya begitu.
Seorang tokoh reformasi, misalnya, tiba-tiba berkomentar lantang mengancam membongkar aib tokoh reformasi lainnya. Padahal yang diancam itu adalah kawan seperjuangan saat bersama-sama menumbangkan rejim Pak Harto. Hanya karena beda posisi dukungan terhadap calon presiden yang akan tanding pada 9 Juli nanti, tokoh tersebut - di mata saya - menurunkan kredibilitasnya sendiri dengan pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang terasa tidak sopan. Saya melihat seharusnya dia tidak begitulah.
Seorang artis senior juga tiba-tiba pindah haluan politik hanya karena ia tidak terakomodasi dalam pembagian jatah posisi penting di partainya dulu. Dengan enteng mengatakan, perpindahan itu karena kesamaan visi misi. Lha saat dulu ikut berjibaku dengan partai lama, bukankah karena alasan yang sama? Kesamaan visi misi? Lalu apa artinya visi misi itu sendiri kalau begitu?
Yang lain, memilih calon pemimpin yang berbeda dengan garis partai. Di sinilah yang paling menarik. Seorang tokoh PKB, misalnya, memilih bergabung dengan Prabowo padahal PKB-nya pro-Jokowi. Sebaliknya, seorang tokoh Golkar mendukung Jokowi, padahal partai mendukung Prabowo. Bolak-balik saling dukung, saling klaim dan saling ancam pemecatan.
Kalau penyebrangan politik itu didasari oleh pilihan hati, kita semua akan maklum. Tetapi tentu kalau penyebrangan itu didasari oleh hal-hal yang bersifat hartawi dan janji kekuasaan untuk berkuasa (yang baik, kekuasaan itu untuk melayani) maka di sinilah soalnya. Ini soal kredibilitas.
Banyak orang menangisi pemelorotan kredibilitas ini karena pada dasarnya publik sudah kadung mencintai tokoh-tokoh itu sebagai panutan. Dan, tentu publik - saya juga - berharap mereka akan tetap berkiprah di jalan yang membanggakan - siapapun presiden yang terpilih nanti.
Pada posisi seperti itu, di mana orang sudah menjadi tokoh nasional, panutan, bersejarah, dan dalam kehidupan ekonomi yang sangat mapan, apalagi yang mereka cari sebenarnya? Selain keharuman nama untuk ditinggalkan manakala mereka sudah fade away!
Meski demikian, dalam suasana keprihatinan yang mendalam ini, saya masih akan bersyukur karena mereka masih bisa menjaga diri untuk tidak bertengkar secara fisik ! Jangan sampai itu terjadi. Kita sama-sama harus saling mengingatkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H